Read more: http://matsspensix.blogspot.com/2012/03/cara-membuat-judul-pada-blog-bergerak.html#ixzz274NKvLCo

Minggu, 30 Desember 2012

Koperasi, Siapa Mau



Bicara koperasi seharusnya berbincang mengenai aspek perekonomian yang merakyat, telaah tentang perkumpulan otonom dari orang-orang yang bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi ekonomi, sosial, dan budaya bersama melalui perusahaan yang mereka miliki bersama dan mereka kendalikan secara demokratis. Dan seharusnya koperasi menjadi energi vital dalam perkembangan perekonomian dengan berbagai peluang dan kemungkinan pengembangan yang sinergis dengan kesejahteraan bersama. Koperasi seharusnya menjadi antiteory corak liberalisme yang menjadi ancaman bagi perkembangan usaha kecil dan menengah. Menjadi perwakilan nasib jutaan rakyat kecil yang harus tertatih menopang penghidupannya berpacu dengan percepatan modal kalangan atas.
Berbicara tentang koperasi yang maju dan menguasai berbagai sektor perekonomian seperti pungguk merindukan bulan. Tidak banyak yang bisa dilakukan koperasi di dunia bisnis yang serba cepat, dengan pola perubahan yang mendadak, kebijakan yang labil dan kerasnya roda persaingan. Koperasi bagaikan kakek tua yang tertatih dan berjalan di tempat, berjuang untuk tetap berdiri dan berjalan stabil. Padalah mata rantai koperasi menyebar di segala penjuru negeri ini, bak kaki2 gurita yang seharusnya mencengkeram kuat sendi perekonomian. Fakta di lapangan mempunyai beberapa perkiraan sebagai berikut:
1.      Visi & Misi
Tidak jelasnya misi yang diemban oleh koperasi dan unit yang menaunginya sebagai dampak dari tidak adanya ketegasan dalam keseriusan pengembangan misi utama koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan. Instansi terkait nampaknya lupa cita-cita mulia founding father koperasi sebagai sokoguru perekonomian Indonesia, sebagai unit kerakyatan yang mempunyai nilai industri strategis yang menyangkut kepentingan keamanan dan hajat hidup orang banyak
2.      Otonomi
Keberadaan koperasi yang sekedar menumpang dalam sebuah mata rantai internal sebuah instansi seolah hanya menjadi konspirasi sekunder dengan sekat keterbatasan dengan kepatuhan struktural. Akibatnya koperasi dan orang-orang yang terlibat aktif di dalamnya hanya memerankan fungsi pelaksana kebijakan, penggugur kewajiban dan tidak terlibat dalam segi teknis kebijakan untuk lebih mengakomodir perkembangan perekonomian terkini. Sementara yang berdiri sendiri dengan organisasi yang lebih bebas dengan keterbatasan pengetahuan dan pendidikan koperasi sangat lemah kewenangannya untuk melakukan intervensi dan tidak dapat berbicara banyak untuk menegakkan  sendi2 koperasi, akhirnya mereka hanya memanfaatkan nama koperasi hanya sebatas papan nama ataupun berubah fungsi menjadi unit peminjaman saja yang seolah terlepas dari prinsip-prinsip perkoperasian.
3.      Profesionalisme
Tidak banyaknya individu yang mengelola koperasi dengan alasan ekonomi mengakibatkan koperasi tidak mempunyai banyak pilihan, tidak selektif dalam menjaring anggota yang dijadikan tulang punggung roda perkoperasian. Akibatnya bisa ditebak, koperasi hanya berjalan di jalan buntu, keterbatasan SDM mengharuskan koperasi hanya memanfaatkan sumber daya yang ada, geliat profesionalisme dalam koperasi hanya sebatas mimpi, terhenti di debat kusir sebuah perhelatan wacana yang bertajuk seminar.
4.      Kepercayaan Publik
Dampak yang lebih luas dari faktor diatas dapat kita lihat kondisi koperasi sekarang, berita di media banyak menceritakan sakitnya kondisi koperasi, matinya sebuah koperasi dan korupnya pengurus yang berkecimpung di koperasi. Tidak bisa disalahkan jika masyarakat hanya bisa terdiam ketika diajak bicara koperasi, krisis kepercayaan semakin memperburuk kesehatan sebuah unit ekonomi rakyat yang berjudul koperasi. Hanya cibiran, pandangan sebelah mata yang melengkapi opini publik terhadap keberadaan sebuah koperasi, seakan koperasi hanya menjadi unit usaha nomor sekian, kehadirannya hanya sebagai pelengkap dalan kancah perekonomian, sebagai x faktor yang menjanjikan kucuran dana dari pemerintah.

Itulah gambaran koperasi, konklusinya sederhana, dengan kondisi sekarang koperasi tidak akan bisa maju, hidup segan mati tak mau. Dibutuhkan motivator ulung untuk menghidupkan kembali jiwa koperasi, diperlukan semangat muda dan profesionalisme tanpa batas untuk membangkitkan koperasi. Bukan ini yang diinginkan Bung Hatta, tetapi inilah serpihan dari fakta nyata koperasi......

Sabtu, 29 Desember 2012

Retas Setia


Semerbak nafasmu menebar harap  
Selintas rautmu memikat raga
Pikat indahmu memendam rindu
Pendam harapmu memelas lepas
  
Itukah Engkau.....
Berdiri galau menopang lara
Membayang samar di penghujung kalbu
Menyosok getir meredam rindu

Inikah Engkau....
Menebar senyum merenggut asa
Merebak wangi aroma diri
Menggoyah lirih benih setiaku

Getar hatiku tercenung malu
Gelora rinduku terbuncah lega
Gelegak asamaraku terpecah retak
Gemersik setiaku tersayat pilu

Doa tak kuasa menjawab getar ambiguku
Dosa tak jua melepas dahaga ambisiku

Dalam samar
Inginku tetap disisimu
Pintaku tetap merengkuhmu
Harapku tetap memelukmu

Dalam lirih
Inginku memendam retas senyummu
Pintaku menghapus aroma pikatmu
Harapku mendekap batas setiaku

Dalam lirih aku tetap berdoa
Dalam samar aku selalu berharap.......
   

Instant & Imaginatif



Kehidupan modern mengharuskan menusia yang terjebak didalamnya selalu berpacu, berlari dan bersaing untuk meraih kesempatan yang semakin minim. Dengan porsi raihan kesuksesan yang semakin ketat dan kompetitif maka waktu menjadi semakin sempit, bahkan bagi sebagian orang 24 jam saja tidak cukup untuk menghabiskan agenda yang terjadwal padat. Beberapa aktivitas pribadi dan personal pun kita sempitkan waktu kita untuk bersantai, berkumpul dengan keluarga, istirahat, bahkan makan minum pun menjadi semakin selektif kita laksanakan. Alhasil semua yang menawarkan kreasi instan pun semakin menjamur, mulai dari makanan instan, bisnis franchise yang menjanjikan lebih cepat menjaring konsumen, pendidikan instan dan banyak elemen dengan embel-embel instan yang kian diminati dan diburu.
Rangkaian cita rasa instan yang kian menggoda dalam perspektif yang lebih luas ternyata kian merasuk dan menghasilkan ciptaan pola pikir baru, yaitu pola pikir instan, merencanakan dan merancang segala sesuatu dengan cepat dan singkat. Dan pada akhirnya kita bisa dengan mudah melihat bagaimana generasi muda kita mempunyai angan dan khayalan sebentuk kehidupan yang terrancang dengan instan, mulai dari gaya hidup, pedoman sampai cita-cita yang terkesan ingin mudah diraih dengan gampang. Lihat saja lulusan instansi pendidikan yang resah mencari pekerjaan, bukan karena tidak ada lowongan tetapi tidak ada yang sesuai dengan keinginan mereka yang langsung ingin duduk di posisi dan bayaran tertentu, tidak terbersit sebuah perjalanan, tahap dan alur yang harus mereka lalui untuk menggapai impian. Bahwa untuk mencapai tangga ke 6 harus dilalui dari tangga pertama, bahwa semua dimulai dengan angka 0, harus memulai dari perjuangan untuk mendapatkan keberhasilan.
Kalau saja semua sudah terpola dengan cita rasa instan yang terjadi adalah kewaspadaan, orang yang ingin cepat kaya tanpa berusaha akan membentuk potensi kejahatan, seorang pegawai yang ingin melesat ke posisi tinggi akan menghalalkan segala cara supaya di mata pimpinan dia menjadi sosok yang terpuji, menjegal kawan dan menyebar berita yang tidak benar untuk menjatuhkan ‘saingan’. Dan jangan pernah terkejut ketika pola instan tersebut melekat dalam sosok pejabat negara kita, menghasilkan serangkaian kegiatan korupsi yang dahsyat bahkan membentuk komunal solid yang sangat sulit untuk dicegah.
Pola instan mengharamkan seseorang menjadi pejuang tangguh yang tahan tempaan, mengurangi rasa hormat terhadap proses yang mengiringi setiap kesuksesan, berusaha menghindari tantangan dan kreativitas sebagai nilai-nilai luhur sebuah kesuksesan. Mulailah dengan hal kecil, mengajarkan anak kita langkah kedewasaan yang melalui tahapan terjal dan kemandirian, melatih diri sendiri dengan terus menciptakan kreativitas baru, dan meyakinkan diri bahwa tidak ada keberhasilan yang diraih dengan hanya bermimpi dan berkhayal. Semua ada waktunya semua ada prosesnya, hindari keinginan semu dengan memimpikan rejeki dan jabatan jatuh dari langit tanpa bersusah payah dan siapkan mental untuk lebih sigap dalam mempertahankan kehidupan ini.

Kamis, 27 Desember 2012

Memperbaiki yang Sudah Benar



Jika Sudah Benar Mengapa Harus Diperbaiki ???
Benar atau kebenaran sering didefinisikan dengan bentukan absolut yang berdimensi obyektif, kebenaran adalah persesuaian antara pengetahuan dan obyek; sesuai sebagaimana adanya (seharusnya); betul; tidak salah. Bukan berarti bahwa ‘benar’ adalah sebuah hasil akhir karena kebenaran mempunyai banyak wajah, muka yang bertolak belakang dan subyektifitas yang kian membumi. Kita bisa mengetahui arti ‘benar’ jika ada yang salah, jika ada obyek yang bisa dirasakan indera atau ketika timbul kesepakatan publik tentang suatu kebenaran.
‘Benar’ adalah sesuatu yang indah, jika kita mendekat dan melekat pada istilah ini kita bisa menjelma menjadi pribadi yang disukai, sosok terpuji ataupun ketika kita selalu benar terciptalah insan dengan pandangan ‘bebas dari kesalahan’. Selalu benar merupakan ujian, cobaan karena semakin sering kita benar semakin dekat dengan jurang kesombongan, kengkuhan dan mengikis keinginan untuk selalu melakukan koreksi, evaluasi.
Karena kebenaran tidak hanya satu, bukan nilai yang seutuhnya obyektif, bermetamorfosis dan melekat dengan pengguna kebenaran maka kebenaran terbentuk menjadi sosok yang sangat labil, emosional dan terbentuk menjadi serpihan kecil yang bisa dimiliki semua orang. Jika kita terbiasa dengan kebenaran maka kita akan mencari kesalahan, paling tidak kita akan menetapkan standar benar yang terkadang harus mengorbankan kebenaran yang lain.
Multi makna dari kebenaran tak jarang mengharuskan orang menginginkan kebenaran, mengais kepingan kebenaran atas nama kebijakan sosial, atas nama pertemanan dan subyektivitas kelompok. Intailah kebenaran dari banyak sisi, dari banyak kepala yang menetapkan hukum kebenaran dan sengan nilai kemanfaatan yang tercipta, seberapa banyak kambing hitam yang harus tercipta karena kebenaran yang kita inginkan. Maknailah kebenaran dengan mencari sebanyak-banyaknya varian ‘benar’, bagaimana jika kebenaran yang kita yakini berbenturan dengan keyakinan orang lain yang tidak bisa dikatakan ‘salah’.
Kebenaran akan selalu berubah dan terimajinasi banyak kreasi, tidak konstan dan tidak satu. Mungkin saat ini ketika membuat solusi A semua mengatakan benar, tetapi 1 tahun mendatang solusi tersebut dianggap usang dan muncul teori B. Teori A akan dianggap bukan sebuah kebenaran karena khalayak menetapkan solusi B yang benar saat ini. Itulah kebenaran, sangat tergantung dari siapa yang memaknai dan decision maker, siapa yang berkuasa dan berapa orang yang setuju.
Kebenaran lebih merupakan pertarungan logika, interpretasi dari banyak sebab da dimensi tak berujung yang penuh potensi. Selalu beradaptasi dan memperbaiki yang kita anggap benar akan lebih efektif, lupakan kaidah lama bahwa yang perlu diperbaiki adalah kesalahan. Seorang clining service dipekerjakan untuk menunggu lantai menjadi kotor, tetapi mencegah lantai menjadi kotor. Seorang manusia terpuji tidak akan menunggu sebuah kesalahan, bahkan sesuatu yang benar pun akan selalu dikoreksi untuk mendapatkan hakikat kebenaran yang lebih berkualitas. Ketika kebenaran menjadi expired perlu kebenaran lain yang mengisi perannya, Memperbaiki yang sudah benar, dan memperbaiki yang belum benar merupakan solusi interaktif untuk mereduksi sebanyak mungkin potensi kesalahan.

Rabu, 26 Desember 2012

Saatnya Jual Diri



Bukan untuk mengkonotasikan artikulasi sebuah makna, ‘menjual’ disini merupakan suatu usaha memperkenalkan, mengiklankan dan memunculkan supaya orang tahu historis, kemampuan, dan talenta kita. Bukan pula sebagai bentuk jamak dari kesombongan akan kemampuan yang kita kuasai, tetapi lebih untuk memposisikan diri kita, menyetarakan skill berbanding lurus dengan pekerjaaan atau dengan kehidupan yang lebih layak. Apakah itu diperlukan ??? Jawabnya adalah Sangat Perlu.
“Setangkai mawar tidak akan memiliki arti ketika berada ditengah hutan belantara, tetapi akan sangat bernilai saat terpajang indah ditengah pertokoan yang indah.” Bukan saatnya lagi menjadi sosok pemalu, pasif, menunggu takdir, menanti keajaiban dan hoki ataupun berharap rekan kerja kita menceritakan segala kemampuan kita sehingga atasan terbuka matanya dan mempromosikan kita. Kebutuhan akan sikap aktif, kreatif dan inovatif menjadi unsur dominan untuk launching dan lebih memerankan lakon kita, tentu saja dengan dukungan kemampuan lebih dan skill specialist yang mungkin tidak dimiliki orang lain. Timing yang pas dan kesempatan memang sangat kita perlukan tetapi ada baiknya kita berkaca dulu pada kemampuan diri, cukup handalkah kita untuk diiklankan??
Beberapa tahapan sebaiknya dipertimbangkan kembali khususnya saat kita memberi stempel diri kita, keyakinan bahwa kita memang layak jual :
1.      Penguasaan Diri
Dasar, pondasi internal dari semua kemampuan adalah tekad kuat, itikad dan kekuatan penguasaan yang diawali dengan kepercayaan diri. Menguasai diri berarti mengendalikan segala emosi dan jiwa kita, kontrol terhadap rasa takut, pesimis dan pengendalian kemampuan positif dengan segala kekuatan kita.
2.      Penguasaan Skill
X faktor sebagai senjata utama, skill, talenta dan kemampuan spesifik kita, semakin banyak keahlian kita, atau semakin langka orang yang mempunyai kemampuan seperti yang kita miliki akan menaikkan harga jual kita. Learning by doing, selalu begitu, kontinyu dan berkala sebagai ajang pengasahan yang terus berkembang sampai kita bisa berkata “Ya Saya Bisa”.
3.      Penguasaan Situasi
Situasi merupakan faktor eksternal yang kurang bisa kita kendalikan dengan berbagai elemen yang sewaktu-waktu bisa berubah tanpa kemampuan untuk mengendalikannya. Layaknya area pertempuran situasi menawarkan berbagai kejutan dan kontradiksi eksternal yang wajib kita cermati. Menguasaai situasi kondisi dan berbagai perkembangan di sekitar kita membantu kita berhitung ulang seberapa banyak kesempatan yang bisa kita peroleh, menakar kecerdasan dan kecerdikan kita sebagai takaran seberapa jauh skill kita bisa menjadi dewa penolong dan pahlawan sehingga layak dipertimbangkan. Situasi akan menolong kita menempatkan skill dan talenta berada di tempat yang benar.
4.      Timing
Bukan yang terakhir tetapi bisa di katakan last fase, kemampuan mengatur waktu, timing, dan planning sebagai pelengkap strategi kita untuk bisa dikatakan siap jual. Pengaturan waktu yang tepat didasarkan akan penguasaan dan pengendalian situasi memposisikan kita di wilayah eye cathcing, pusat perhatian dan pencitraan yang baik sehingga memungkinkan orang akan melihat kita ‘layak jual’.

Kontribusi utama tetap faktor internal, bagaimana kita mempunyai keyakinan bahwa kita mampu diimbangi kelengkapan talenta sebagai faktor vital. Kemampuan menjual diri yang baik tidak hanya menempatkan kita pada jalur yang benar, tetapi lebih memungkinkan kita menjadi trendsetter, decision maker yang berpola kreatif dan mampu menjadi inspirasi bagi yang lain. Bukan saatnya lagi menyembunyikan kemampuan, Tuhan memberikan kemampuan kapada kita untuk dipergunakan sebaik-baiknya bukan dimasukkan kedalam brankas ego dan disimpan dalam keabadian pengetahuan.

Selasa, 25 Desember 2012

Profesional itu Gampang



‘Profesional’ merupakan sebuah profesi tingkat tinggi yang elit, kasta pertama dari sebuah kemampuan individu yang terakreditasi A dan hanya melekat di posisi puncak. Bagi sebagian lagi profesionalisme dan isme-isme yang lain tidak terdefinisi dengan pasti dan hanya numpang lewat, sebatas abstraksi sosial yang entah sampai kapan dapat kita wujudkan dengan kadar impossibilitas yang kental.
A professional is a person who is paid to undertake a specialized set of tasks and to complete them for a fee. The traditional professions were doctors, engineers, lawyers, architects and commissioned military officers. Today, the term is applied to nurses, accountants, educators, scientists, technology experts, social workers, artists, librarians (information professionals) and many more. (Profesional adalah orang yang dibayar untuk melakukan serangkaian tugas khusus setelah selesai mereka mendapatkan fee. Profesi tradisional adalah dokter, insinyur, pengacara, arsitek, dan perwira militer yang ditugaskan. Saat ini, istilah ini diterapkan untuk perawat, akuntan, pendidik, ilmuwan, ahli teknologi, pekerja sosial, seniman, pustakawan (profesional informasi) dan masih banyak lagi).
Definisi yang susah dan gambaran yang sangat abstrak, mungkin tidak ada salahnya kita terjemahkan dan redifinisikan untuk diterjemahkan secara simple dan terjangkau dalam alam pemikiran kita.
1.      Profesional sebagai Sebuah Kesadaran
Sebagai sebuah kesadaran dianalogikan dengan persiapan awal kita untuk menjadi seorang professional, niat tulus untuk meyakinkan diri kita, mendoktrin insting dasar kita bahwa kita bisa, bahwa profesional datang dari dalam, inhern dengan kedirian kita dan terpatri lekat sebagai sebuah keharusan.  
2.      Profesional sebagai Sebuah Kepatuhan
Dimulai dengan hal kecil, kepatuhan adalah langkah awal untuk menjadi seorang professional. Kepatuhan untuk mematuhi peraturan ilahiah, kepatuhan terhadap diri sendiri, kepatuhan terhadap aturan keluarga yang disepakati dengan pasangan, kepatuhan terhadap kedisiplinan waktu, kepatuhan terhadap peraturan perusahaan. Saat kita mencoba menjadi insan yang profesional, rangkaian kepatuhan memaksa orang akan menilai kita, memberi stempel orang yang bisa dipercaya, tepat waktu, rajin, taat. Merupakan rangkaian sederhana mendefinisikan profesional untuk dibenturkan dengan sisi teknis dan dengan acuan nilai diri yang disematkan orang lain. Bahwa profesional adalah kemampuan kita mendefinisikan kewajiban dan mewujudkannya dengan penuh kesadaran, mengubah sebuah peraturan bukan sebagai ancaman dan hambatan tetapi sebagai sebuah tantangan yang memacu adrenalin untuk ditaklukan.
3.      Profesional dalam Dimensi Kemampuan/Skill
Seorang profesional dalam tahap sederhana memiliki kemampuan untuk melaksanakan semua tugasnya, dengan kondisi bagaimanapun, posisi apapun dan dengan cara apapun. Saat kita menjadi klining service kita menjadi sosok yang mampu membersihkan dengan baik, ketika menjadi sales kita mampu melakukan terobosan penjualan sesuai target, saat menjadi atasan kita mampu mengelola bawahan dengan effektif. Cikal bakal seorang profesional merupakan pribadi yang selalu bisa melakukan tugasnya dengan baik dimanapun ia berada tidak peduli berapa banyak yang harus dilakukan dan seberat apapun pekerjaannya, bukan hanya karena memiliki multi talent, tetapi karena semangat belajar yang tinggi untuk mencapai segala tujuannya.
4.      Profesional dalam Dimensi Aktualisasi Diri
Rangkaian berbagai dimensi dari kesadaran, kepatuhan dan basic skill merupakan pondasi kokoh yang akan mengantarkan kita ke jenjang yang lebih tinggi yaitu rangkaian perkembangan profesional sebagai sebuah aktualisasi diri. Definisi paparan aktual yang tidak hanya bergelut dalam ranah kewajibannya semata, tetapi menciptakan kesadaran baru untuk memberi ruang gerak yang lebih luas. Terobosan lebih untuk lebih mencerdaskan kinerjanya. Seorang staff profesional mampu merangkai takaran pekerjaan hariannya, memposisikan kesibukannya dengan timing yang tepat dan tetap menyempatkan diri untuk mempelajari hal-hal baru sebagai kebutuhan akan hal baru, seorang sales profesional akan melakukan penjualan on target, dengan waktu yang effektif dan hasil yang memuaskan. Jadi seorang profesional tidak akan berkutat pada bagaimana mengerjakan kewajibannya, bagaimana menyiasati peraturan tetapi melompat ke dataran lain yang mempu memuaskan dahaganya pada hal baru, dalam kelompoknya seorang profesional menjadi panutan dan contoh, dalam aliran struktur seorang profesional mampu membantu rekannya untuk menjadi lebih baik. Seorang profesional tidak harus menjadi pemimpin, tetapi menjadi spirit bagi yang lain.

Jadi mengapa kita tidak belajar menjadi profesional, semakin banyak insan profesional akan mereduksi takaran profesional, menempatkan ke jenjang yang lebih terjangkau dan bukan lagi sebuah entitas eksklusif. Kita akan melihat pemulung profesional, satpam yang profesional, penjahit profesional, dan membuktikan bahwa semua profesi dari yang paling rendah sampai ke tahap jenjang tertinggi mempunyai profesionalitasnya masing-masing........Profesioanl itu mudah, simple dan gampang, berani mencoba sekarang??? :)

Hanya Terdiam


Hanya bisa membisu
Saat pintamu menghembus lirih
Saat inginmu mendekap rekat
Saat anganmu meluruh kalbu
Saat tanyamu memendam lara
Saat bisikmu  menjamah sukma

Hanya seutas senyum
Ketika sosokmu jelajahi anganku
Ketika sudut matamu tajam menghujam
Ketika bayangmu melesak senyap
Ketika geliatmu mendegup ragu

Hanya mendesah pilu
Waktu siluetmu beringsut redup
Waktu jejakmu membelah sunyi
Waktu tampakmu membayang samar

Hanya ingin kau tahu
Bahwa pintamu, inginmu, anganmu, tanyamu, bisikmu kan  selalu kuingat
Bahwa sosokmu, sudut matamu, isakmu, geliatmu kan selalu kukenang  
Bahwa saat membisu, tersenyum dan desah piluku adalah untukmu

Tak perlu kau tahu
Bahwa pergimu adalah deritaku.......

Senin, 24 Desember 2012

Ijinkan Aku



Ijinkan aku Tuhan
Merebahkan pekat ragaku
Bersujud di hamparan suci sajadahMu
Sejenak mengagungkan asmaMu
Tuk berharap berkas ampunMu

Ijinkan aku Tuhan
Meredam angkuh sombongku
Meretas repih kemunafikan
Sesaat mengingat kehadiranMu
Tuk berharap khidmat sabdaMu

Ijinkan aku Tuhan
Membasuh legam anganku
Melebur sekat egoku
Sekilas menadahkan tangan
Tuk berharap percik hidayahMu

Ijinkan aku Tuhan
Dalam untaian jejak hitamku
Dalam pedihnya raung perihku
Dalam belitan alur dosaku
Dalam hamburan noda aibku
Walau lirih tetap kusebut namaMu   
Walau samar tetap kuingat bayangMu
Walau senyap tetap kubisikkan doaMu
................tetap kurindukan senyumMu

Ijinkan aku Tuhan..........
Tetap berada di jalanMu......

Sadar Korupsi ( perlukah???)



Semenjak Republik ini merdeka korupsi selalu menjadi trending topic yang selalu hangat, bagaikan sepotong kue yang menggiurkan. Sudah tak terhitung korban pejabat, partai, institusi yang tercemar karenanya namun bagaikan memotong kuku korupsi selalu tumbuh dengan sosok yang berbeda bahkan seakan melakat sebagai budaya nasional dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam kasus terbaru dimana partai berkuasa di negara ini paling banyak dirugikan karena banyaknya oknum yang terseret dalam arus deras korupsi, sampai muncul pernyataan bahwa tingkah laku korupsi mungkin dikarenakan banyak pihak yang tidak menyadari atau kurang mengerti pengertian korupsi.
Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) atau rasuah adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Saking populernya korupsi di Indonesia Guy J Parker dalam tulisannya berjudul "Indonesia 1979: The Record of three decades (Asia Survey Vol. XX No. 2, 1980 : 123). Begitu pula J.W Schoorl mengatakan bahwa " di Indonesia di bagian pertama tahun 1960 situasi begitu merosot sehingga untuk sebagian besar golongan dari pegawai, gaji sebulan hanya sekadar cukup untuk makan selama dua minggu. Dapat dipahami bahwa dalam situasi demikian memaksa para pegawai mencari tambahan dan banyak diantaranya mereka mendapatkan dengan meminta uang ekstra untuk pelayanan yang diberikan". ( Sumber buku "Pemberantasan Korupsi karya Andi Hamzah, 2007).
Jika memahami pengertian di atas korupsi lebih pada tindak kesengajaan, memanfaatkan jabatan demi kepentingan pribadi. Kata sengaja disini harus digarisbawahi untuk mencounter pernyataan ‘ketidaktahuan’ pelaku akan korupsi yang dilakukannya karena itulah yang sering kita dengar di media-media dengan perilaku pelaku yang ‘meminta jatah’, ‘sengaja meloloskan tender dengan imbalan’, ‘proyek pesanan’ yang secara umum merupakan aktivitas yang dilandasi unsur kesadaran dan kesengajaan. Jika menilik penelitian Guy J Parker mungkin kita masih bisa memahami kondisi waktu (tahun 1960) ketika faktor utama korupsi adalah gaji yang hanya cukup untuk 2 minggu, tetapi apakah sekarang para pejabat mengalami kondisi yang sama???
Dengan tidak mengurangi rasa hormat kita juga harus memahami situasi yang memungkinkan pelaku korupsi tidak mengetahui perilaku korupsi karena semua orang dalam suatu institusi melakukan hal itu sehingga dipahami sebagai hal yang lumrah dan ‘legal’. Ada baiknya perlu dikaji kembali perlunya penerbitan informasi yang menerangkan pengertian korupsi secara terperinci, mendetail dan disertai contoh, atau sebagai kurikulum sekolah sehingga diharapkan semua elemen atau orang perorang calon pejabat masa depan sudah mengetahui apa dan bagaimana sesuatu hal bisa dinyatakan sebagai korupsi. Teknisnya dalam konteks pendidikan mungkin perlu dirancang kurikulum mengenai korupsi layaknya pelajaran wajib PPKN, Agama dan Bahasa bahkan kalau perlu dimasukkan ke dalam rangkaian Ujian Nasional, dalam konteks Badan Usaha atau BUMN dan lembaga sejenis semua elemen wajib mengikuti penataran dan pengajaran seluk beluk dan semua yang terkait dengan Korupsi lengkap dengan ancaman pidana yang mengancam pelakunya. Harapannya semua faham dan “sadar korupsi”  dalam pengertian semua pejabat bebas 2K (Korupsi, Kolusi).
Apakah hal itu bisa mencegah Korupsi??? Hanya Tuhan yang tahu, karena penyebab utamanya bukan lagi sekedar untuk pemenuhan kebutuhan hidup seperti terjadi di awal tahun 60-an tetapi lebih menyerupai mainstream yang terdoktrin secara rapi sebagai kesatuan paket sebuah struktur jabatan.. Tetapi  paling tidak kita tak akan menemukan lagi prediksi bahwa korupsi terjadi karena ketidaktahuan atau ketidaksengajaan pelaku sehingga muncul opsi bisa dimaklumi. 

Minggu, 23 Desember 2012

Merasa Diawasi tuhan



Hirarki kerja dalam sebuah struktur kerja di instalasi manapun hampir semua sama, secara umum dibedakan menjadi 2, atasan dan bawahan dengan konsep  konvensional bawahan melakukan apa yang dikehendaki atasan dan atasan mengawasi kinerja bawahan dan memastikan sesuai dengan rencana yang dibuat. Mungkin dibagi menjadi struktur yang lebih kecil dengan unit kerja yang bervariasi, namun setiap unit memiliki pimpinan dan anak buah, sama dengan konsep diatas hanya perbedaan interpretasi dan konsep teknis saja.
Pola kerja tersebut seakan menciptakan gap, seakan ada dua kubu yang berbeda kepentingan. Personal yang berada dalam posisi bawah/pelaksana merasa pimpinan tidak adil, tidak bisa memahami bawahan, hanya bisa memerintah dan menyuruh dan pada tahapan selanjutnya terjadi kecenderungan bekerja hanya menuruti perintah atasan bukan sebagai kebutuhan atau konsep pengembangan diri, bekerja benar hanya ketika ada atasan apalagi konsep bekerja bagian dari proses beribadah seolah hanya impian yang tidak akan terwujud. Pihak pimpinan atau atasan akan sangat sulit jika kondisinya terbangun dengan alur seperti itu karena tidak memungkinkan pengawasan lapangan dilakukan setiap saat dengan jumlah unit yang sedemikian banyak.
Sebuah konsep pernah ditawarkan di tempatku bekerja yang sekilas sangat idealis, dengan perspektif yang tertahan tinggi di awang-awang untuk ukuran kondisi sekarang yaitu konsep “Bekerja Merasa Diawasi Tuhan”. Sebuah slide pemikiran yang mencoba menggabungkan dimensi duniawai dengan ranah illahiah yang terdefinisi sederhana sehingga bisa dimengerti oleh karyawan dan dilaksanakan di semua lini. Apakah mungkin ??? jawabannya adalah sangat mungkin dengan ketentuan yang disepakati oleh semua pihak sehingga sehingga terjemahannya tidak merugikan karyawan dan perusahaan, dengan catatan masih diperlukan paparan teknis untuk mewujudkannya.
1.      Paradigma Perusahaan
Bekerja merupakan kebutuhan manusia, sesuatu yang dibutuhkan manusia untuk berkembang dan berubah, meraih sesuatu yang ingin dicapai ataupun terdesak kebutuhan. Dengan kenyataan hampir semua manusia butuh kerja posisi perusahaan secara teknis diuntungkan karena kebanyakan tenaga kerja adalah insan yang membutuhkan pemenuhan kebutuhan sehari-hari.  Dalam hal ini perusahaan harus memiliki konsep bukan memandang definisi pekerja sebagai sebuah mesin yang bisa kita stel berdasarkan target dan objektif perusahaan, bangunan konsep harus mengarahkan tenaga kerja sebuah aset vital yang harus dikelola dengan baik dan benar, diarahkan, dan diperingatkan jika ada kesalahan. Pekerja harus mengetahui benar apa hak dan kewajiban mereka, bagaimana proses pengambilan cuti, hak saat melahirkan, keluarga sakit, jamsostek, mengerti peraturan yang berlaku dengan konsekuensi jika mereka melanggar. Perusahaan menempatkan diri bukan sebagai diktator yang kejam dan berkuasa, tetapi merapatkan diri dengan pekerja dan mengisi peran sebagai keluarga yang mengayomi kepentingan pekerja. Menyediakan media pendukung untuk mempermudah pekerjaan, media komunikasi ketika pekerja mempunyai ide, melakukan koreksi kebijakan di lapangan, bahkan ketika mereka memiliki masalah yang berpotensi mengganggu kinerja mereka. Harapannya satu, pekerja memiliki kesadaran untuk bekerja dan merasa paling tidak nyaman dalam harmonisasi hubungan pekerja dan perusahaan.
2.      Pendekatan Ilahiah
Selain kebutuhan duniawi tidak bisa dilupakan setiap orang memiliki keyakinan akan kehidupan setelah kehidupan ini berakhir, terdefinisi dengan keyakinan pada agama tertentu yang secara umum menyebutkan bahwa setiap orang memiliki Tuhan. Perusahaan harus mengakomodir kepentingan ini dalam suatu kemasan yang lebih bermakna bagi semua. Dengan fakta dilapangan bahwa kadar ketakutan manusia sudah sangat tipis, mereka lebih takut kepada kebutuhan yang semakin hari semakin meningkat atau kepada atasan daripada kepada Tuhannya sendiri memberikan kesempatan bagi management untuk mengembalikan mereka ke jalan yang benar. Penyediaan sarana ibadah, nuansa yang mendukung pekerja selalu ingat kepada Tuhannya, ataupun menyadarkan mereka yang saat ini mungkin sudah melupakan keberadaan Tuhan. Tebalnya kesadaran dalam dimensi ini sangat baik untuk perkembangan pribadi pekerja, membuat mereka menyadari arti hidup dan secara umum menyediakan suasana tenang dalam lingkungan kerja. Bahwa hidup bukan hanya kompetisi pengejaran materi  semata untuk memuaskan raga, namun kepuasan batin dalam pendekatan kepada Yang Maha Kuasa.
Kedua pengertian di atas kemudian digabungkan dan di design sedemikian rupa sehingga terjadi kolaburasi yang membangun, konsep bekerja merupakan bagian tak terpisahkan dari beribadah. Pekerja akan merasa nyaman dan penguatan keimanan akan memberikan spirit baru bahwa mereka bukan hanya bekerja sebagai imbas dari kebutuhan semata tetapi sebagai aktualisasi ibadah, pengertian bekerja mereka sudah bukan untuk mendapatkan pujian atasan, tetapi dalam rangka mendapat legitimasi dari Tuhan sebagai umatnya yang taat.
Ini adalah konsep yang sangat sulit dilaksanakan tetapi sedang dicoba untuk digodok sampai siap untuk dipraktekkan, jika konsep ini terlaksana dan pekerja bekerja tanpa harus diawasi, bagaimana fungsi pimpinan dalan sebuah unit atau pengawas di lapangan, apakah berarti mereka tidak diperlukan lagi??? Tentu saja mereka tetap diperlukan, bukan sebagai atasan yang ditakuti tetapi sebagai media penghubung kepentingan management dengan pekerja, media penyeimbang sebagai sarana harmonisasi hubungan keduanya. Selain itu perubahan fungsi juga merupakan sarana perusahaan untuk lebih melebarkan peran dan melangkah ke wilayah non pekerjaan dengan cara lebih meningkatkan empati pada pekerja yang mempunyai kesulitan rumah tangga, kepedulian ketika pekerja sakit dan konsep sederhana yang menciptakan konsep perusahaan sebagai keluarga besar yang saling mendukung. Semoga.

Sabtu, 22 Desember 2012

Don't Try at Home



Hari yang sangat sibuk dan membuat penat sekujur tubuh dalam suatu kegiatan sekumpulan keluarga besar membuat aku mengambil keputusan untuk sejenak rehat sambil menonton sebuah acara televisi. Beberapa keponakan ternyata sudah berderet rapi di depan televisi jadi aku hanya memandang dari kejauhan, Sayup terdengar celoteh mereka membaca tulisan di bawah layar kaca “Don’t try at home..” kata seorang anak membaca tulisan tersebut, “apa artinya bu?” tanyanya kepada ibunya. Ibunya menjawab “artinya tidak boleh dicoba dirumah nak”. “Berarti boleh dicoba di sekolah ya” dengan lugu anaknya berkomentar. Aku hanya tersenyum mendengarnya, boleh juga pemikiran anak itu.....
Demikianlah beberapa rancang bangun media televisi dalam mencoba memilah, memperingatkan dan memberi arahan kepada penontonnya dengan memberi istilah seperti BO, SU, D. Sayangnya terkadang istilah tersebut kurang dipahami sebagai media peringatan, tak lebih hanya sekedar hiasan kecil di pojok atas yang lebih sering diabaikan. Terlebih lagi untuk penayangan yang hanya dilakukan oleh profesional dengan peringatan “Don’t try at home” yang bagi sebagian penonton bahkan tidak tahu artinya, padahal itu adalah signal serius dan berpotensi membahayakan jika ditiru tanpa pengawasan ahlinya.
Sepele namun dapat berakibat serius, terlebih pemberitaan televisi marak menayangkan adegan kekerasan, pembunuhan, pencurian, pemerkosaan yang level penontonnya tidak bisa dipilah hanya dengan onggokan istilah di layar televisi. Kita hanya bisa terperangah melihat kejadian seorang anak merampas HP temannya dan ketika ditangkap dia mengaku meniru adegan layar kaca, anak kecil yang memainkan pisau dan berkomentar dengan enteng “pengen mencoba kaya di acara sulap kemarin“. Bagaimana jika peringatan dirubah dengan bahasa Indonesia saja, misalkan “Jangan dicoba di rumah tanpa pengawasan ahlinya”, “tidak untuk ditiru” atau “adegan membahayakan jangan dilakukan sendiri”. Demikian juga dengan peristilahan yang ditampilkan mungkin perlu mendapat perhatian lebih dari orang tua untuk menerangkan kepada buah hatinya maksud dari istilah tersebut dan pendidikan yang cukup sehingga anak memiliki kesadaran untuk mematuhi tanpa harus selalu diawasi. Yang pasti peringatan tersebut harus padat berisi dan jelas, jangan multi tafsir atau berkesan ambigu.
Beberapa stasiun swasta memang sudah menampilkan peringatan berbahasa Indonesia dengan kadar persentase yang sangat minim dan rasanya belum cukup dengan semakin banyaknya acara televisi yang berpotensi ditiru serta kecenderungan anak sekarang yang lebih suka menenggelamkan waktunya dengan menonton acara televisi dan kedua orang tua yang banyak menghabiskan waktu dengan pekerjaan. Don’t try at home...waspadalah terhadap perilaku anak yang senang mencoba.... 

Pola Terbal!k


Bertemu beberapa teman secara berkala dan di waktu yang berbeda tanpa suatu rencana dan terjadi begitu saja menimbulkan kesan tersendiri, kadang teringat masa lalu, menghapus rasa penasaran dan menjawab beberapa pertanyaan karena lama tidak bertemu. Waktu dan usia memang hebat mampu merubah sosok yang dahulu pendiam menjadi lebih agresif, meredamkan kenakalan masa kecil dan membuat perubahan menjadi lebih nyata. Walaupun kadang perubahan itu terlihat anomali dan ambigu bagi beberapa orang dengan karakter khusus sewaktu masih muda.
Beberapa prediksi memang mendekati kenyataan tetapi pada kenyataannya banyak yang keluar dari jalurnya. Orang yang secara akademis berada dalam kelompok ‘pintar’, ‘baik’ ternyata kurang begitu lihai menempatkan diri dalam tatanan masyarakat dan terkesan pasif menyambut bola liar persaingan. Hasilnya teman yang berada di kategori ini kehidupannya cenderung statis kurang sukses dan hanya menempati level pekerja, bekerja untuk orang lain atau bekerja dalam tekanan atasan. Sementara orang yang kukenal ‘bandel’, kata orang ‘nakal’ dan menempati posisi menengah ke bawah dalam hirarki akademis menjelma menjadi sosok dinamis, agresif dan menempati kelas menggiurkan dalam strata kehidupan di alam nyata sekarang. Walaupun tidak mengingkari kenyataan bada beberapa yang sesuai dengan pola yang seharusnya, yang pintar sukses dan yang ‘bodoh’ berada dalam posisi sulit, namun persentasi pintar dan berhasil sangat sedikit dan itupun didukung faktor dominan beberapa kerabat yang menempati posisi strategis.

Ada yang salah dengan pola pemikiran yang didoktrinkan kepada kita, bahwa jadi orang baik, ‘manut’ taat, dan konsisten di jalan yang lurus merupakan jalan menuju sukses??? Sepertinya sia-sia teguran, kemarahan orang tua ketika nilai anaknya tidak sebaik yang diharapkan dan jurus-jurus sakti menghadapi kehidupan dengan jujur, nrimo, belajar tekun dan menghindari kelompok yang kurang baik jika terbentur kenyataan di lapangan. Mungkin terlalu berlebihan ketika kita sebagai orang tua mengharuskan anak kita mendapat nilai 10, mewajibkan paket les dan kursus, mengeryitkan dahi saat anak pulang belepotan kotoran, dan memaksakan belajar di  sekolah unggulan kalau ternyata hanya membuat anak kita takut, pura-pura jadi seperti yang kita inginkan dan memberontak jika saatnya tepat.
Nampaknya kita sebagai orang tua harus meredefinisi ulang tuntutan prestasi yang kita inginkan terhadap anak kita, tidak perlu menjadi orang yang komplet, harus baik, pintar, dan segala tetek bengek keindahan yang kita tawarkan untuk menjadi apa yang kita inginkan, biarlah mereka berkembang menjadi pribadi alami, biarlah mereka belajar di universitas kehidupan dan kenyataan untuk menjadi insan yang kuat dan mampu beradaptasi dengan liku hidup yang sangat labil, sudah saatnya anak-anak kita belajar bersosialisasi, mengukur ketangguhan mereka sendiri dan membebaskan diri mereka dari ‘yang kita inginkan’, kita hanya melakukan kontrol dan menjadi wasit yang adil ketika terjadi potensi kesalahan dan indikasi keluar jalur yang benar. Memberi contoh dan berusaha menjelaskan apa yang terjadi ketika harus menegur mereka, berusaha mengerti pemikiran mereka dan memposisikan sebagai sosok yang dihargai, bukan ditakuti atau sosok mengerikan bagi anak kita tercinta.

Seberapa Yakin ???



Kadang saat iseng mampir di kepalaku berbagai fakta dalam serpihan pertanyaan mengembang dan terus berkelanjutan layaknya keping kuku dalam jari tangan dan kaki yang terus tumbuh tanpa kenal lelah. Ketika kita melakukan kegiatan kita sebagai seorang manusia yang mengisi perannya dalam lelakon kehidupan ini. Benarkah yang kita lakukan sekarang??? Dengan segala sifat kemanusiaan kita, keinginan kita dan ego sentris yang menghiasi peradaban manusia apakah kita merupakan makhluk berakal dan berbudi saat berusaha bertahan dalam derasnya alur kehidupan ini???
Apakah kita benar-benar meyakini bahwa kebaikan kita akan menghasilkan sesuatu yang lebih bermakna, dengan atau tanpa embel-embel kebenaran yang menjadi masterpiece dari sejarah panjang peradaban manusia??? Saat kita harus menyalahkan orang lain, ketika posisi sebagai atasan mengaruskan kita menghukum bahkan memecat bawahan yang kita anggap bersalah atas pekerjaannya. Benarkah kita saat harus memutuskan ikatan persahabatan atas nama kekhilafan dan keresahan emosi...itukah kita yang mengabaikan tadahan tangan anak-anak kecil di perempatan lampu merah, memejamkan mata kepada pengemis tua yang membutuhkan uluran tangan kita, mnulikan telinga ketika bocah gelandangan menangis kelaparan, memejamkan mata melihat bapak tua renta berdiri berdesakan dalam sebuah angkutan umum???
Memang benar itulah diri kita yang sesungguhnya, atas nama keterpaksaan banyak hal sepele yang kita abaikan, atas nama kebutuhan kita singkirkan gerai kemanusiaan diantara gerombolan sosok kumuh yang mengais rejeki di jalanan. Demi kebutuhan keluarga kecil kita dan demi prestasi kerja kita mengumbar kemarahan, menghancurkan harapan hidup insan marginal.kadang hanya demi sekeping recehan mengatasnamakan agama dan Tuhan untuk berkelit dari kewajiban amal. Kita tutupi denting kesalahan dan kebodohan dengan ibadah, kita poles muka dengan keramahan, kita latih ujung bibir kita supaya orang melihat kita sosok yang simpatik.
Yakinkah kita bahwa kita adalah orang yang baik???? Hanya dengan tampilan rapi, tutur kata sopan, rajin badah, dan segala tindak tanduk manusiawi yang kita tampilkan sebagai pencitraan positif. Seberapa kuat keyakinan kita akan rezeki halal yang kita bawa pulang setiap hari, makanan yang kita suapkan kepada anak kita, pakaian yang kita kenakan pada pasangan kita dan buah tangan yang kita hadiahkan kepada orang tua kita Apakah sinyal provider ilahiah kita selalu ‘on’ sehingga doa dan ibadah kita sukses terkirim kepada Yang Maha Mengetahui, tidak terhalang krodit dan low bat karena celah gelap kesalahan yang kita timbulkan setiap saat??? (Hanya sebagai evaluasi dan alarm pribadi, oleh-oleh renungan menjelang kiamat prediksi suku Maya...)

Jumat, 21 Desember 2012

Malaikat Tanpa Sayap II



Melihat sosok diri dalam cermin menimbulkan rasa aneh dan takjub, ternyata sudah kelihatan tua dan seperti bapak-bapak he he. Tak sengaja mataku melihat sebentuk lekukan bekas luka yang terpahat di bahu sebelah kanan, luka yang tercipta sangat lama mungkin ketika masih sekolah SMP dulu. Membekas dan selalu menjadi pengingat akan kejadian yang telah lama sekali, aku ingat itu adalah ganjaran karena membuat marah ibu. Saking marahnya tak sengaja botol yang sedang dipegang membentur bahu, pecah berkeping keping dan sebagian pecahannya menancap di bahu. Darah yang mengucur tak kuhiraukan, aku hanya terdiam dan menyesali kelakuanku sementara ibu bergegas mencari lap bersih untuk menyeka luka.
Ah... memori yang tak terlupakan, teringat ibuku yang selalu mencoba mengerti keinginan anaknya walaupun kadang sangat berat untuk kehidupan kami yang pas-pasan. Seiring berjalannya waktu aku sekarang sudah mempunyai anak dan baru terasa betapa beratnya berperan menjadi sosok orang tua yang baik. Beban berat yang selama bertahun tahun di pundak ibuku kini kurasakan juga dan harus kuakui peranku tidak sebaik ibuku. Sosok wanita yang menjelma menjadi pelindung, teman, sahabat dan penenang hati itu kini sudah berumur dan menjadi nenek yang baik untuk anakku. Bagiku ibuku tetap wanita hebat yang tegar menghadapi hidup, tidak ada yang berubah walaupun secara fisik banyak yang berbeda seiring umur yang semakin uzur.
Sosok ibu adalah keajaiban Tuhan yang diturunkan ke dunia menjadi malaikat pelindung bagiku, malaikat tanpa sayap yang siap menjaga dan mengarahkan anak-anaknya untuk selalu menjadi pribadi yang baik dan taat beragama. CiptaanNya yang terbungkus aura kesucian, raga yang dipercaya Tuhan sebagai tempat sakral proses penciptaan makhlukNya. Dari rahimnyalah kelanjutan dari penciptaan kehidupan dimulai, dari organ tubuh wanita yang lemah penerus kehidupan didesign dan terjaga selama lebih dari 9 bulan. Secara ajaib ketika proses kehamilan terjadi bagian tubuhnya yang lain menyatukan berbagai unsur dan diolah menjadi air susu yang siap menyediakan berbagai vitamin dan zat penting untuk pertumbuhan jabang bayi yang lahir. Perjuangan yang terhenti dan harus merelakan nyawanya karena proses melahirkanpun tidak sia-sia, Tuhan menjanjikan sorga untuk perjuangannya dan disetarakan dengan mati syahid.
Ucapan seorang ibu bagaikan penyambung lidah dari Sang Khalik, dalam berbagai riwayat, sosok ibu menjadi tema penting dan sumber segala keridhoan Ilahi, bahkan disebutkan bahwa doa ibu lebih mujarab dari doa ulama ulama yang ada di dunia ini. Derajat seorang ibu adalah derajat tertinggi, sampai diumpamakan sorga berada di bawah telapak kaki ibu. Sungguh berbahagia wanita yang diberi kepercayaan menjadi seorang ibu, jabatan tertinggi dalam sebuah manajemen ilahiah yang akan selalu terjaga hingga dunia tak bermentari. Walaupun diberikannya seisi dunia ini belum bisa membayar kemuliaan hati seorang ibu, namun aku hanya berharap suatu saat bisa membalas semua kasih sayang yang dicurahkan selama bertahun tahun. Ibu, pintu maafmu selalu kuharapkan terbuka untuk anakmu yang sering membuatmu marah, untaian doa dalam setiap ucap dan nasihatmu selalu kunantikan sebagai penyemangat dalam kehidupanku, hanya doa yang mampu kupanjatkan...semoga kebahagiaan dan ridho Tuhan selalu menyertaimu.

Kamis, 20 Desember 2012

Kapan Lagi...



Dulu waktu masih tinggal di sekitar kampus salah satu rutinitas habis maghrib adalah kongkow bareng mahasiswa di sebuah warung bubur kajang ijo, menyantap cemilan dan berbagai jajanan yang disajikan. Suatu ketika ada kabar menghebohkan mengenai video yang menceritakan suara-suara aneh di bawah tanah yang katanya disinyalir seperti suara siksaan alam kubur, kami semua penasaran dan dibentuklah team pencari/seekers yang bertugas menghadirkan film tersebut untuk ditonton ramai-ramai. Saat yang dinanti2 tiba, salah seorang sukses mengcopynya di computer milik temannya yang masih satu kost kostan. Berombongan kami ke kost tersebut layaknya gerombolan bermotor yang menyantroni target dalam sebuah perumahan. Sesampainya disana kami duduk rapi menunggu penayangannya, dan memang benar-benar menyeramkan apalagi beberapa dari kami mewakili generasi muda yang mengedepankan kebebasan, bebas menentukan jam tidur, bebas tidak mandi, bebeas tidak sholat dan lain-lain.
Alkisah setelah selesai kami pulang dengan tenang tanpa menimbulkan kegaduhan dan kekacauan, kembali ke tempat biasa mangkal sambil meneruskan minum kopi dan cerita ngalor ngidul sampai malam menjelang pagi. Esok harinya di jadwal dan gelombang yang sama pertemuan kembali dilakukan, setelah membahas film kemarin tiba-tiba gelak tawa membuncah, rupanya dari beberapa orang yang ikut rombongan pasca menonton tayangan kemarin mendapat hidayah dan langsung sholat, alasannya sederhana, takut mati dan disiksa seperti di film. Suasana menjadi riuh, yang lain mengejek dan yang mendadak sholat nampak menahan malu karena perubahan yang tiba-tiba dan nampak janggal di mata temannya.
Meskipun efeknya singkat dan timing yang pendek nyatanya kita harus menyadari dan mengakui bahwa kita masih mempunyai ketakutan akut terhadap kematian. Takut disiksa seperti yang selama ini dinubuatkan oleh hampir semua agama terhadap kaumnya yang tidak mengikuti aturan, ketakutan alami yang datang dari hati kecil kita yang secara sadar mafhum bahwa tuannya tidak pernah menjalankan ibadah layaknya umat beragama yang taat. Bagi banyak orang walaupun hati sudah diniatkan dan dorongan perubahan sudah dicanangkan, mental masih belum siap untuk perubahan tersebut. Orang yang terbiasa tidak sholat akan merasa malu terhadap orang si sekitarnya jika tiba-tiba dia rajin ke masjid, pasti ada komentar yang kurang enak, yang tobatlah, lagi tidak sadar lah atau kata-kata yang mungkin memerahkan telinga kita.
Bagaimana kita meyikapinya???? Semua terserah kita, bagi saya semua perubahan memang tidak enak, terkesan sulit merubah kebiasaan, ataupun kita selalu merasa kurang siap dan masih menunggu saat yang tepat. Kalaupun kita masih bimbang yang pasti selama masih ada kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik tetaplah berubah. Mungkin kita perlu media pendukung untuk menguatkan mainstream keyakinan kita, mencari teman yang tepat, media sosial yang membangun, kisah yang menginspirasi, film yang membuka mata kita, yang pasti seperti kata pepatah banyak jalan menuju Roma. Pasti bergelombang dan penuh dengan gejolak (live is never flat), tarik menarik antara hitam dan putih, tuntutan sosial yang terkejut melihat perubahan dan kerikuhan marginal dengan side effect sangat tidak nyaman. Teruslah berusaha, layaknya keyakinan perubahan juga butuh kekuatan dan kemantapan hati.........   

Pemeran Utama



Sekilas menonton film di sebuah televisi swasta yang bertitle (kalau tidak keliru) the seekers: the dark rising dimana dikisahkan pertarungan klasik melawan kegelapan. Kemenangan hanya bisa diraih jika terkumpul kekuatan dari 6 symbol yang secara teori  merupakan jalan menaklukan kekuatan mengerikan dari penguasa kegelapan. 5 symbol telah terkumpul, pencarian symbol ke 6 tidak juga menunjukkan keberhasilan sampai tahap keputusasaan datang dan nyaris mempetieskan semangat pencarian hingga akhirnya penguasa kegelapan datang dan mengancurkan segalanya. Sampai titik kritis dimana kegelapan hampir menuai kemenangan mutlak, saat pertempuran hampir mencapai titik tertingginya dengan kemenangan kegelapan pemeran utama yang mewakili sosok pahlawan timbul kesadaran, menyadari bahwa symbol ke 6 adalah dirinya sendiri. Hasil akhirnya bisa ditebak, dengan kesadaran akan kekuatan yang timbul pada dirinya sendiri mengorganisir ke 5 symbol yang ada disempurnakan dengan symbol ke 6 melahirkan kekuatan dahsyat yang akhirnya mampu mengalahkan musuh terkuatnya.
Hanya sekedar film dengan title BO (Bimbingan Orang tua) yang berarti anak kecil boleh menonton dengan pengarahan orang tuanya. Ada yang patut dicermati dari film tersebut selain action dan setting yang menarik serta alur yang ditata apik, nampaknya si pembuat cerita berusaha menyadarkan kepada penonton beberapa hal yang mungkin sudah mulai terlupakan. Pemeran utama dari pihak kebaikan disimbolkan dengan anak kecil berusia sekitar 14 tahun tetapi mampu menjadi tumpuan kelompok yang notabene berusia dewasa. Menyadarkan kita bahwa usia tidak menjadi jaminan akan sebuah kebenaran, bahwa kebenaran bisa datang dari siapa saja dan kita yang lebih dewasa atau lebih tua tidak boleh memandang sebelah mata kepada orang yang usianya di bawah kita. Kritik yang cerdas berusaha dipaparkan kepada kita yang menganggap orang yang lebih tua harus dijadikan panutan atau contoh dari yang lebih muda. Keengganan kita yang lebih didasarkan ego terkadang sangat rentan ketika berhadapan dengan kematangan berpikir orang lain, apalagi yang jauh lebih belia dan kita sematkan istilah ‘masih bau kencur’.
Ada sisi cerita yang menggambarkan pemeran utama tertipu karena musuh menyamarkan suaranya menjadi sangat mirip dengan ibunya, sehingga sang lakon tertipu dan hampir berakibat fatal. Menjadi bahan pertimbangan kita ketika menghadapi suatu persoalah, apa yang kita dengar, kita lihat dan segala pertimbangan pribadi kita terkadang hanya sebatas setting indera yang sangat subyektif. Cara kita memandang harus mengalami evolusi sehingga harus bisa melihat dengan segala kompleksitasnya, 3 dimensi sehingga memastikan kita bisa melihat dari segala sudut untuk menampilkan konklusi yang seobyektif mungkin demi kelanjutan derap langkah yang lebih perform dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Lebih bijak untuk melupakan dulu segi emosional yang bisa menutupi sebagian pandangan kita akan kebenaran yang utuh dan berpengaruh negatif terhadap cara pandang kita.
Puncaknya adalah ketika timbul kesadaran bahwa symbol penentu kemenangan yang dicari adalah dirinya sendiri, sebagai pelengkap sekaligus unsur inti dari kekuatan yang terpendam. Di masa ini ketergantungan kita terhadap teknologi semakin signifikan, tubuh kita sangat dimanjakan dengan berbagai kemudahan yang mengakibatkan lahirnya kemalasan dan bergesernya pola pikir mengenai pengertian teknologi, alat dan berbagai peralatan pendukung kehidupan ini. Peran teknologi sebagai pembantu manusia sedikit demi sedikit beringsut ke atas dan menjelma menjadi peran vital, lebih penting dari keberadaan manusia itu sendiri. Manusia bukanlah tuan tetapi menjadi budak teknologi dan pada akhirnya mengikis kepercayaan diri kita sebagai makhluk penguasa menjadi sekedar pengguna dan pelaksana. Ketergantungan inil sampai titik tertentu menganggap teknologi, perlengkapan dan segala bentuk media yang kita gunakan jauh lebih penting dari keberadaan manusia, mengakibatkan sisi humanisme semakin tergerus karena kita terjebak dalam sisi gelap peradaban yang semakin canggih. Tahap penilaian terhadap manusia yang semakin rendah berefek menutup jalan sempit kemanusiaan, semakin jauhnya hubungan antar sesama manusia karena kita lebih membutuhkan teknologi daripada sekedar berkomunikasi dengan sesama manusia. Film ini mencoba mengembalikan fakta bahwa pusat segala kekuatan bukanlah benda, tetapi kesadaran dan kedirian kita sebagai pemersatu dan inkubator dari berbagai elemen sekunder untuk mennghancurkan masa-masa kegelapan.
Tafsir sederhana dari film tersebut adalah adanya upaya representasi ulang sebuah kesadaran, reposisioning manusia sebagai subyek vital, decision maker, respon kita terhadap manusia lain dan kembalinya status kita sebagai makhluk sosial yang membutuhkan sesamanya demi kemajuan bersama. Manusialah yang menentukan sesuatu berfungsi atau tidak, kecerdasan manusialah yang menciptakan segala kemajuan dan teknologi, dan kitalah representasi aktif dari segala kemajuan dan peradaban zaman. Sebuah pertimbangan ulang bahwa semua visi, misi kita berawal dari manusia, ketika kita berada di posisi vital dalam sebuah kesatuan, unit kerja, ataupun organ vital dari sebuah kluster pendidikan, aspek manusialah yang harus pertama kali dibangun dan dikembangkan, menempatkan derajat SDM kita untuk bisa menjadi unit kreatif yang siap berkolaburasi dengan unit pendukung lain, menjadi pemeran utama dalam sebuah kesatuan aspek demi kelanjutan integral untuk sebuah kemajuan ....remember, human the first.

Rabu, 19 Desember 2012

Mendahului takdir ???



‘Mendahului takdir’ sebenarnya hanyalah ungkapan personal yang terlontar ketika mendapati beberapa orang teman sedang curhat tentang berbagai kesulitan yang mendera tiada henti sampai muncul pemikiran untuk mengibarkan bendera putih untuk perjuangan yang seakan tiada berujung. Pemahaman yang tercuat dari analisis sederhana bahwa takdir merupakan ketentuan yang telah ditetapkan Yang Maha Kuasa dan tidak dapat dirubah yang selama ini kita kenakan untuk rejeki, jodoh dan ajal. Semakin rumit karena kita tidak akan pernah tahu bagaimana sesuatu hal disebut takdir sampai kita melalui tahapan itu dan melewati sesuatu dalam kehidupan dengan segala hasilnya, ringkasnya kita mungkin bisa memahami itu sebuah takdir ketika kita mengetahui outputnya. Selama kita belum mengetahui secara pasti hasil dari segala peristiwa maka semua masih bisa diusahakan.
Ketika tersinyalir ungkapan keputusasaan sampai ada kalimat yang terlontar “...kalau begini caranya aku pasti tidak akan bisa menjadi sukses, selamanya akan termasuk golongan kaum fakir miskin...”. ungkapan satir dan menyiratkan keputusasaan yang mengerikan, betapa tidak.... kita sudah mendahului garis Sang Pencipta dengan menegaskan bahwa kita akan seperti ini. Mungkin seharusnya kita tidak hanya membuat draft analisa tersebut karena Tuhan tidak menggugurkan semangat umatNya dengan hanya melempar bola ‘takdir’ tetapi ada petunjuk tambahan yang kira-kira berbunyi demikian “Tuhan tidak akan merubah suatu kaum sampai kaum itu merubahnya sendiri...”. Keluasan dan kedalaman analisa sangat diperlukan untuk merubah cara pandang kita, jangan sampai terjebak dalam aliran pola yang sangat parsial.
Benang merah yang kita dapatkan dari istilah “Mendahului takdir” sebenarnya banyak sekali kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika rekan kerja dimutasi dan secara cepat menyimpulkan dia dimatikan karirnya, sikap menolak ketika ada perubahan dengan mencetuskan kalimat “ini pasti tidak akan berhasil” atau semua hal yang kita yakini endingnya bahkan sebelum kita memulai sebuah kegiatan. Saat naluri dan hakekat kemanusiaan kita bahkan tidak mengetahui apa yang terjadi peristiwa satu jam mendatang, kemudian dengan penuh percaya diri seolah-olah kita melakukan perjudian dengan mengungkapkan fakta dan keyakinan yang mungkin terjadi beberapa hari atau beberapa bulan ke depan hanya karena kita tidak menyukai sesuatu, meramalkan sesuatu, menduga-duga, berprasangka, pesimis, putus asa...apakah itu bukan mendahului takdir ?
Semua pasti mengandung hikmah, Tuhan tidak pernah menciptakan sesuatu hanya satu, semua tercipta dengan berpasangan, jika ada siang malam, kanan kiri, terang gelap, jika kita mengalami hal yang menyakitkan pasti ada kesenangan atau hikmah dibalik semuanya. Putus asa tidak akan memecahkan masalah, pesimis bukan jalan terbaik dan menyerah bukan satu-satunya pilihan. Kodrat kita tidak dilahirkan sebagai pecundang, tetapi sebagai penguasa/khalifah bumi dan seisinya, jangan sia-siakan hamparan cahaya ketuhanan yang bersinar dalam setiap tetes kehidupan ini.
Tuhan telah mendesain semangat perjuangan kita bahkan ketika kita masih berwujud setetes air mani yang harus bersaing dengan jutaan tetes lainnya untuk bertranformasi menjadi janin, bagaimana kita diajari berjuang untuk terlahir di dunia ini dengan pembelajaran yang sangat mahal dari pengorbanan seorang ibu dan memberikan jutaan pelajaran lain yang bisa dapatkan dari kehidupan ini. Semua yang kita anggap takdir perlu pembuktian untuk melihat hasil akhirnya, kita harus mengubah semuanya dengan segala kemampuan untuk mewujudkan dan mengakhiri sebagai seorang pemenang, seberat apapun ujian yang harus kita hadapi, yakinlah ......pasti bisa. Karena Tuhan tidak menyukai hambanya yang lemah dan mudah putus asa.......

Selasa, 18 Desember 2012

Pecahkan Masalah



“Mari kita pecahkan masalahnya bersama-sama.....” kata temanku dalam sebuah rapat koordinasi tahunan di sebuah perusahaan, dan herannya semua mengiyakan tanpa banyak komentar. Menurutku ada sesuatu yang janggal dalam perkataan itu, dulu ketika duduk di bangku kuliah dan masih banyak waktu untuk memperdebatkan sesuatu yang sangat sepele kami pernah membahas ini sampai berbusa-busa dan hasil akhirnya sederhana, perlu pembenahan bahasa (tanpa mengurangi rasa hormat terhadapa bahasa yang selama ini lazim digunakan di masyarakat) supaya hasilnya yang ebih efektif. Karena memecahkan masalah bukan solusi bahasa yang tepat, dalam pemikiran kami dipecahkan hanya memperkecil/menyedehanakan masalah tetapi menimbulkan masalah baru yang lebih banyak, menyerupai gelas retak yang kita pecahkan, hasilnya adalah serpihan kecil dalam jumlah banyak yang semakin sulit dibersihkan tetapi menimbulkan potensi bahaya yang lebih besar.
Secara bahasa kata pecah berarti kata kerja: terbelah menjadi beberapa bagian; rusak; tidak bersatu lagi. secara umum mendefinisikan sesuatu yang tidak utuh, bukannya hilang tetapi terbagi menjadi bagian kecil yang berdiri sendiri. Berdasarkan definisi tersebut kadang kami berkelakar itulah kenapa Indonesia selalu bermasalah, kalau di negara lain masalah dicarikan solusinya bersama-sama, di sini masalah dikumpulkan untuk dipecahkan kemudian ditinggal pergi dan dianggap selesai. Walaupun tidak bisa dijadikan preseden dan hanya berdasarkan atas nama semangat pencarian dan metode trial and error, namun tidak ada salahnya direnungkan kembali benarkah pemahaman bahasa bisa menyebabkan setting pola pikir terdefinisi berbanding lurus dengan pengertian bahasa tersebut. Dan parahnya menurut indera kami yang terbatas di negara ini hampir semua masalah besar hanya dibahas, dirapatkan, pembentukan unit khusus, pembagian entitas kecil, sesaat booming di media masa dan di saat yang lain lenyap tak berbekas.
Krulik dan Rudnick mendefinisikan pemecahan masalah adalah suatu suatu usaha yang dilakukan seseorang untuk menyelesaikan masalah dengan menggunakan pengetahuan, ketrampilan dan pemahaman yang telah dimilikinya. Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2253033-pengertian-pemecahan-masalah/#ixzz2FSID7YiR
Pada poin pemecahan masalah di atas terdapat faktor kunci usaha sungguh-sungguh, pemahaman dan penyelesaian masalah yang harus ada dan disodorkan sebagai bagian sangat vital dari definisi pemecahan masalah. Dalam arti kita harus mengarungi hal tersebut untuk memerankan secara apik jalan panjang memecahkan suatu permasalahan.
Yang menjadi masalah, terkadang kita sangat memiliki tingkat keengganan yang akut ketika menghadapi suatu permasalahan. Masalah menjadi momok menakutkan, hal yang wajib dihindari, aib yang harus dicegah, definisi lain dari ketidakmampuan, bahkan demi nama baik tidak jarang permasalahan ditutup-tutupi sampai akhirnya terbuka ketika semua tingkat keakutannya dalam tahap mengkhawatirkan. Padahal pada hakekatnya masalah merupakan hal wajar dalam proses perkembangan, masalah merupakan ujian bagi kita yang memahaminya untuk melompat ke jenjang yang lebih tinggi, kata lain dari tantangan untuk pencapaian yang lebih berkualitas dan bermakna.
Diperlukan ketetapan hati, keyakinan dan kedewasaan mereduksi keyakinan yang selama ini kita sematkan kepada sosok yang didefinisikan sebagai masalah, munhkin sudah saatnya kita menghapus pemikiran negatif terhadapa masalah yang selalu merugikan. Masalah bisa menjadi besar tumbuh dan berkembang dengan kecepatan yang tidak bisa kita duga sebelumnya jika kita jauhi atau kita hindari. Saatnya kita kelola semua permasalahan dengan lebih bijak, lebih bermakna dan mengambil kemanfaatan yang lebih besar dari permasalahan yang timbul. Tegarkan mental siapkan solusi untuk semua permasalahan yang mungkin timbul, luangkan waktu untuk lebih memahami permasalahan dengan senjata skill, dan ketrampilan yang kita kuasai. Pemecahan masalah lebih kepada solusi yang tepat, hasilnya adalah masalah selesai, tanpa menghasilkan masalah baru lagi sebagai bagian dari effek samping ketidakpahaman kita dan pastikan terhindar dari solusi yang prematur.

Malaikat Tanpa Sayap



Melihat si buah hati tidur tenang, pulas dengan raut wajah tanpa dosa dan gurat innocent yang terpendar dari wajahnya seolah obat mujarab yang menghembuskan angin surga, melunturkan rasa capek dan penat yang mendera raga ini seharian. Samar memori ini perlahan bergerak mundur ke belakang ke arah 3 tahun yang lampau, saat dimana istri tercinta dengan perut yang terorganisir rapi membentuk design busur setengah lingkaran sebagai keindahan proporsional dari Yang Maha Kuasa, istana nyaman bagi jabang bayiku terbaring lemah di ranjang sebuah rumah bersalin menunggu waktu yang tepat untuk menunjukkan dunia baru bagi calon anakku.
Waktu menunjukkan pukul 19.00 ketika aku bergegas ke tempat bersalin untuk menemui istriku (kebetulan pekerjaan mengharuskan aku tinggal di luar kota). Raut cemas dan gugup, debar dada yang mengencang melebur menjadi satu kesatuan yang mengisyaratkan jiwaku sedang dalam masa pancaroba yang menegangkan menunggu detik-detik metamorfosis dari seorang suami menjadi sosok ayah bagi calon anakku.tempat duduk yang nyaman seolah dipenuhi onak dan duri, tidak nyaman untuk diduduki, bumi tempat berpijak serasa penuh gelombang yang tidak memperbolehkan diriku berdiri dengan tenang, dan detak jantung memainkan irama musik rock yang membuat nafas ini terengah tanpa sebab yang pasti.sampai saat itu tiba ketika bidan menyebutkan angka pembuka atau istilahnya bukakan 9 dan itulah waktu ketika pintu dimensi alam rahim terkuak dan menjadi tanda bagi jabang bayi untuk memulai era baru menjadi seorang manusia.
Menemani dan memegang tangan istriku ketika memulai pengorbanan tanpa kenal lelah, membuncahkan semua kekuatan fisik dan melepaskan energi dari segenap milimeter pori pori tubuh, berjuang demi kenyamanan keluarnya buah hati seolah mengecilkan peran seorang laki-laki yang hanya bisa terdiam memandang tidak berdaya, seolah hanya mampu mengisi peran menjadi saksi bisu perjuangan seorang wanita mentranformasi anaknya ke dunia ini. Dan ketika saatnya tiba, suara tangis bayi memecah keheningan, seolah meledakkan isi dada menghamburkan segala ketegangan, kecemasan dan penantian panjang selama 9 bulan lebih. Aku hanya terdiam, ‘Aku menjadi Ayah” batinku, hanya bisa tercenung dan mengucap syukur.
Setelah 3 tahun anaku tumbuh menjadi sosok yang mewakili emosi dan  menguras semua kisi kehidupan yang kami punyai, menyerap dengan cepat semua rasa senang, marah, kasihan dan menjadi bagian tidak terpisahkan dalam kebersamaan. Kadang emosi bergejolak ketika sang anak memperlihatkan kenakalan alami dari perkembangan fisik dan mental seorang bocah. Emosi..... ya pasti bahkan kadang sangat menjengkelkan dan membuat kemarahan yang sangat luar biasa, tetapi itulah sosok malaikat kecil yang dianugerahkan Tuhan kepada kami.
Seorang kawan menyebutkan anak adalah anugerah sekaligus musibah bagi orang tuanya, anugerah ketika kita berhasil mendidik dan tumbuh menjadi kebanggan orang tua dan menjadi musibah ketika anak terjerumus dan mencoreng nama keluarga. Apapun itu bagiku anak adalah salah satu media Tuhan untuk menilai seberapa banyak kita bisa mengambil hikmah dalam proses pendidikan dan pengawalan sampai menjadi dewasa. Anak adalah proses perulangan gambaran masa kecil kita, seolah merupakan transkrip ulangan yang memberitahu kita bagaimana dahulu kita ketika masih kecil, hikmah tersurat yang mengingatkan kepada kita betapa besar pengorbanan orang tua saat membesarkan kita.
Malaikat kecil tanpa sayap yang diutus dan dititipkan Tuhan sebagai pelengkap kebahagiaan, itulah istilah yang kusematkan kepada anak kami, salah satu metode sederhana bagi kami untuk selalu mengingatkan betapa besar tanggung jawab yang harus diemban dalam mempersiapkan anak kami untuk menyusuri setiap jengkal kahidupannya sampai saatnya tumbuh menjadi dewasa. Mediasi internal untuk selalu mengingatkan tiap helai pakaian, tiap suap yang kami berikan dan tiap patah kata yang kami bisikkan supaya menjadi berkah dan tidak dikotori dengan kepingan aura negatif dari sumber yang tidak halal menurut agama.
Mungkin rumah kita bukanlah istana layaknya cerita pangeran dan kerajaannya yang megah, jalan hidupmu tidak seindah kisah sinetron di televisi, makanan yang kami sajikan tidak selezat masakan cheff restoran terkenal dan baju yang kami pakaikan tidak bagus polesan design terkenal. Tetapi kami punya cinta dan kasih sayang yang kami berikan tulus kepadamu, doa yang senantiasa kami panjatkan setiap saat demi keberhasilanmu, dan semua yang bisa kami berikan tidak pernah kami perhitungkan, kami ikhlas dalam setiap tetes keringat yang kami keluarkan untuk memastikan dirimu tumbuh menjadi pribadi yang terpuji. Semoga detak waktu yang terbaur dalam kehidupan ini senantiasa mempererat kisah indah antara kami orang tuamu dan kamu anak kami tercinta, Arfa Nathan El Zhar. Selamat ulang tahun nak doa kami senantiasa menyertaimu....

Senin, 17 Desember 2012

Like...dislike



Perkembangan pesat dari teknnologi informasi, internet dan berbagai media sosial menjadi sebuah catatan penting yang menandai kebangkitan masyarakat untuk bersosialisasi via dunia maya. Hampir semua kalangan telah mengenal jejaring sosial, akrab dengan chatting dan secara tidak langsung juga menaikkan ratting salah satu kata yang populer dengan perkembangan jejaring sosial salah satunya adalah like/dislike. Like/dislike layaknya artis populer yang terintegrasi dalam sebuah jejaring sosial tidak hanya sekedar penghias saja bahkan menjadi bagian penting, begitu vitalnya dan begitu banyaknya person yang memanfaatkan kata itu sehingga sebuah pengembang virus tertarik dan menggunakannya sebagai mediator untuk penyebarannya.
‘Like’ sebuah kata yang mewakili perasaan suka/setuju/senang kepada sesuatu yang kita yakini benar dan sesuai dengan semua yang berhubungan dengan kita, bertolak belakang dengan itu jika kita merasa tidak suka, benci, tidak setuju maka kita akan mengatakan tidak suka/’dislike’. Semudah itulah jika kita berkutat dalam dunia maya, tinggal klik ‘like’ atau ‘dislike’ maka semuanya selesai sesuai dengan keinginan kita. Dalam dunia yang tercipta dari rajutan teknologi simetris dan maya semua mungkin terjadi, seolah-olah semua urusan dan keinginan dengan gampang diselesaikan dengan satu tombol saja.
Akan menjadi sebuah konflik serius jika peradaban dan kebudayaan alam teknologi ini kita seret ke dalam kancah kehidupan nyata, yang tidak hanya kita lihat dalam layar persegi tetapi sebuah kenyataan yang pada hakekatnya lebih rumit dan harus banyak pertimbangan yang termaktub didalamnya. ‘Like/dislike’ dalam dunia nyata merupakan konspirasi integral dengan bumbu kemanusiaan dan perasaan dalam sebuah media bernama ‘subyektifitas’. Side effect dari ‘like/dislike’ sangat tidak terprediksi, mungkin hanya dimaknai secara simple, sebatas guyonan, percakapan ringan sambil minum kopi biasa yang cepat menguap dan hilang ketika keluar dari mulut kita. Tetapi dalam dimensi yang lebih luas lagi ‘like/dislike’ bisa ditafsirkan sebagai sebuah ketidakadilan yang menyebabkan hancurnya sebuah tatanan dari nilai-nilai obyektifitas, semua tergantung dari ‘bobot’ pembicara yang melontarkan ‘like/dislike’ tersebut.
‘Like/dislike’ tidak bisa dipungkiri mewakili semua perasaan kita terhadap cara pandang dan penilaian kita terhadap sesuatu di dunia ini. Perlu kedewasaan dan telaah lebih dalam dalam mengaplikasikan kata tersebut, kadang butuh pengorbanan dan keberanian dlaam menghadapi efek yang ditimbulkannya karena keputusan apa yang akan kita putuskan biasanya melalui proses pemilihan yang rumit. Keputusan penting dalam hidup kita mulai dari pemilihan sekolah, teman, pasangan hidup, pekerjaan, dan semua yang kita dapatkan hari ini mungkin merupakan hasil dari ‘like/dislike’ yang kita terjemahkan sebagai sebuah keputusan tepat versi kita.sepanjang masih berkaitan dengan privasi internal semuanya terserah kita, yang harus ditimbang ulang ketika kita terkoneksi dengan kesimpulan ‘like/dislike’ adalah ketika harus berhubungan dengan orang lain ataupun bahkan berkaitan dengan nasib orang banyak. Jangan sampai kesederhanaan kata’like/dislike’ yang kita lontarkan lebih berfungsi sebagai keputusan sang pengadil yang menghancurkan orang lain.
Begitu mudah namun begitu sulit ketika kita berada di posisi yang kurang menguntungkan, suka.....tidak suka....seperti pisau bermata dua yang siap memahat penilaian orang terhadap kita. Penggunaan dengan bijaksana atas nama profesionalisme dan obyektifitas  membuka ruang gerak lebih luas dan lebih terpola dalam celah keputusan yang kita lontarkan. Harus dipastikan bias kelabu dari sisi ambiguitas yang kadang tidak terlihat, tidak terprediksi dan tidak terpantau dalam radar kesadaran kita, ribuan kali ‘like/dislike’ dalam alam virtual yang tidak mempunyai kesanggupan taktis integral akan terpendar ketika kita hujamkan dalam alam kehidupan. Mudahnya bilang ‘like/dislike’ bisa membunuh kreativitas rekan kita, sangat tajam setajam silet..... waspadalah..... 

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | JCpenney Printable Coupons