UU No.17 Tahun 2012 yang menggantikan UU
terdahulu No.25 Tahun 1992 nampaknya menjadi sebuah polemik baru dalam kancah
koperasi Indonesia. Berbagai perubahan signifikan terkait dengan aturan Organisasi,
Kelembagaan, Keanggotaan, Permodalan dan SHU sukses menuai berbagai komentar
negatif dari ‘Insan’ perkoperasian Indonesia. Dukungan yang dialamatkan ke
pemerintah pusat sebagai aktor dibalik lahirnya UU tersebut terkesan kurang bersahabat,
bahkan sebagain besar melemparkan tuduhan UU tersebut sebagai usaha mereduksi
makna koperasi yang luhur sehingga tercemar dan terpuruk dalam alur ekonomi
kapitalistis sepihak.
Sebagai orang awam saya justru melihat
hal itu dengan klausul sedikit berbeda, dengan tetap berdasarkan data dan fakta
yang selama ini berkait dengan kondisi Koperasi Indonesia. Faktanya meskipun
sudah berusia dan 66 tahun pada tanggal 12 Juli 2013 nanti apa itu Koperasi
belum begitu dipahami dengan benar oleh bangsa Indonesia. Bahkan banyak anggota
Koperasi yang belum tahu makna dari mahluk yang bernama Koperasi ini.
Seperti kita ketahui Koperasi adalah
asosiasi orang-orang yang bergabung dan melakukan usaha bersama atas dasar
prinsip-prinsip Koperasi, sehingga mendapatkan manfaat yang lebih besar dengan
biaya yang rendah melalui perusahaan yang dimiliki dan diawasi secara
demokratis oleh anggotanya. Dengan kata lain Koperasi bertujuan untuk
menjadikan kondisi sosial dan ekonomi anggotanya lebih baik dibandingkan
sebelum bergabung dengan Koperasi. Sementara menurut ICA Cooperative Identity
Statement, Manchester, 23 September 1995, Koperasi adalah perkumpulan otonom
dari orang-orang yang bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan dan
aspirasi ekonomi, sosial, dan budaya bersama melalui perusahaan yang mereka
miliki bersama dan mereka kendalikan secara demokratis
Dari
pengertian di atas dapat diuraikan sebagai berikut:
1.
Asosiasi
orang-orang. Artinya, Koperasi adalah organisasi
yang terdiri dari orang-orang yang terdiri dari orang-orang yang merasa senasib
dan sepenanggungan, serta memiliki kepentingan ekonomi dan tujuan yang sama.
2.
Usaha
bersama. Artinya, Koperasi adalah badan usaha
yang tunduk pada kaidah-kaidah ekonomi yang berlaku, seperti adanya modal
sendiri, menanggung resiko, penyedia agunan, dan lain-lain.
3.
Manfaat
yang lebih besar. Artinya, Koperasi didirikan untuk
menekan biaya, sehingga keuntungan yang diperoleh anggota menjadi lebih besar.
4. Biaya yang lebih rendah.
Dalam menetapkan harga, Koperasi menerapkan aturan, harga sesuai dengan biaya
yang sesungguhnya, ditambah komponen lain bila dianggap perlu, seperti untuk
kepentingan investasi. (www.lapenkop.coop, Lapenkop@lapenkop.coop)
Dengan menilik penilaian di atas seharusnya
Koperasi mempunyai peran signifikan dan strategis sebagai alat baru
perekonomian yang berpihak kepada rakyat kecil, lingkup lingkar ekonomi yang
mampu menjadi pelindung ekonomi menengah bawah. Jujur saya melihat itu tidak tercermin dari
keberadaan koperasi di negara kita. Rentang 66 tahun dengan segala perkembangan
dan pembelajaran yang disediakan pihak terkait (pemerintah dengan segala
perangkatnya) nampaknya belum mampu mengangkat derajat koperasi menjadi
struktur kelas elit sebagai soko guru perekonomian.
Dalam jenjang teknis Tidak ada lagi prinsip
keanggotaan sukarela dan terbuka, beberapa institusi koperasi membatasi
keanggotaan dengan lebih menonjolkan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Kaidah
Manfaat Yang Lebih Besar dengan partisipasi aktif anggota dalam kegiatan
ekonomi sudah merupakan hal yang langka. Pun pesan spiritual Bung Hatta bahwa :
bukan Koperasi namanya manakala di dalamnya tidak ada pendidikan tentang
Koperasi sudah sangat jarang kita temukan. Sekarang koperasi tidak lebih dari
aktivitas ekonomi kapital yang memerankan fungsi sebagai kepemilikan kelompok
dengan asumsi perputaran uang sebagai alat ukur ideologi perekatnya. Belum lagi
berbagai uraian yang menggambarkan betapa koperasi mempunyai permasalahan
dengan SDM, system yang amburadul dan kemungkinan terbukanya celah kecurangan
financial, berbagai fasilitas pemerintah yang memanjakan beberapa individu dengan
berbagai kucuran dana segar bagi koperasi.
Gambaran koperasi masih merupakan bayang
samar yang belum bisa diterima masyarakat, pemberitaan media mengenai hilangnya
dana koperasi, keberadaan koperasi yang tidak jelas dan berbagai kasus yang
menimpa koperasi memberikan citra negatif yang dosanya harus ditanggung segenap
civitas perkoperasian Indonesia. Realita ini tidak hanya membenamkan institusi
koperasi namun juga menghilangkan kepercayaan publik terhadap koperasi. Dengan tidak
menafikkan kinerja beberapa tokoh yang masih konsisten membangun koperasi
berbasis ideologi maka saya pribadi merasakan secara umum koperasi Indonesia
dalam ambang batas kelayakan sebagai sebuah lembaga ekonomi negara.
Terlepas dari kepedulian yang akhirnya mendorong PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) selaku
organisasi dunia mengeluarkan resolusi yang menetapkan tahun 2012 sebagai Tahun
Koperasi Dunia (International
Cooperative Year/IYC), kita harus mengakui ekonomi koperasi harus mendapatkan
pertolongan darurat supaya terlepas dari jeratan permasalahan yang pelik. Dengan
bahasa lain jika selama ini koperasi diberi ruang kebebasan berkembang secara alamiah
dengan metodologi edukasi dan ideologi komunal ternyata tidak mampu maka jangan
salahkan jika pemerintah bertindak dengan metodenya supaya koperasi tidak
hancur baik secara ideologu maupun struktur (versi pemerintah).
Di titik inilah kelahiran UU No.17 Tahun
2012 harus dilihat dari sisi yang positif. Diakui atau tidak hal ini dapat
dilihat sebagai upaya pemerintah dalam mengurai benang kusut koperasi, walaupun
terkesan prematur dan sepihak. Pemerintah mungkin menyadari beratnya
mengentaskan koperasi kembali ke habitat ekonomi elite dengan akutnya
permasalahan yang menderanya sehingga dengan UU yang baru diharapkan koperasi
melakukan revolusi (tentu saja dengan membawa kepentingan pemerintah, karena
pemerintah menganggap pelaku koperasi tidak sanggup membawa koperasi ke jalan
yang benar). Dengan caranya UU No.17 Tahun 2012 , koperasi yang secara struktur
dan persyaratan lainnya tidak layak dan tidak memungkinkan untuk diajak maju
dengan membawa bendera koperasi secara otomatis akan berguguran. Tentu saja
tidak semua, beberapa koperasi yang cukup kuat secara financial maupun
ideologis akan bertahan dan menjelma menjadi koperasi baru dengan rintisan neo ideologi
yang mampu bertahan inilah yang akan ‘dibina’ dan dikembangkan secar serius
oleh pemerintah dengan bekal UU baru.
Walaupun terkesan kejam metode genocide saat
ini merupakan metode praktis yang membawa perubahan genetika koperasi secara
drastis dan praktis dibandingkan dengan metode alamiah yang ternyata tidak juga
mampu menyusupkan roh koperasi kedalam anggotanya. Sebenarnya langkah
pemerintah ini juga merupakan management konflik yang ampuh untuk membangkitkan kepedulian ‘pemilik’
koperasi yang selama ini tertidur dalam buaian zona nyaman dengan kedok ideologis
koperasi. Sekarang merupakan momentum tepat untuk mengikrarkan tekad bagi tokoh
koperasi yang tidak menyetujui berlakunya UU No.17 Tahun 2012 dengan pembuktian konkret bahwa mereka sanggup
membangun koperasi seperti apa yang dicita-citakan Bung Hatta. Pertanyaannya adalah
jika kemudian pemerintah akhirny menunda bahkan membatalkan UU No.17 Tahun 2012
dengan tetap mengakomodir UU terdahulu No.25 Tahun 1992 mampukah insan koperasi
mampu mewujudkan impian akan sosok koperasi yang benar, mengakar dan benar dengan landasan ideologis yang mengakar ???
Akankah......