Koperasi adalah perkumpulan
otonom dari orang-orang yang bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan
dan aspirasi ekonomi, sosial, dan budaya bersama melalui perusahaan yang mereka
miliki bersama dan mereka kendalikan secara demokratis. Secara teori ini
merupakan sistem yang sangat sempurna, perfect, baik dilihat dari sisi politis
maupun sosial dengan mengedepankan sisi humanisme dan kepekaan sosial untuk
bisa bersaing dalam persaingan global. Kalaupun dalam kenyataannya koperasi
belum mampu menjadi numbero uno itu
dikarenakan banyak aspek yang menaunginya dengan resensi polemik yang sangat
rentan potensi konflik.
Keberadaannya nyata dengan
aksi sosial yang sangat pasif sehingga malahan memberi kesan eksklusif,
resisten terhadap perubahan dan menjauh dari lingkungan masyarakat umum. Jika
diibaratkan sebuah kondisi sosial maka koperasi mempunyai pola resistensi yang
salah dan terlalu acuh dalam ranah publik. Sehingga kalau kita melihat koperasi
masih berdiri dan belum punah, hal itu mungkin menjadi sebuah kebanggaan bagi
segelintir kaum yang masih mempunyai sedikit rasa care dan peduli.
Geliat koperasi sepertinya akan
terlihat saat terjadi konflik perundangan2an saat UU No.17 Tahun 2012 di plot
pemerintah menggantikan UU terdahulu No.25 Tahun 1992 sehingga koperasi
terkesan lebih liberal. Namun ternyata itu hanyalah sebuah titik kejut sesaat
yang tidak mampu membangunkan sendi koperasi untuk menjadi lebih ‘terlihat’. Kalau
kita mau jujur geliat itupun hanya segelintir dari lingkar mikro yang masih
dipunyai koperasi.
Layaknya sebuah sistem
ekonomi, keberadaan koperasi membutuhkan pemicu aktif sebagai perantara
sehingga keberadaannya bisa memberikan makna dan peran utama, saat ini koperasi
hanya sebatas pemeran pengganti,
aksesoris pelengkap yang hanya dilirik jika ada hal yang memungkinkan. Beberapa
kemungkinan akan menjadi sebuah analisa tambahan bagi mereka yang mempunyai
energi lebih untuk mendalami koperasi.
1. Peran
Setengah Hati
Persaingan global yang menjadi sengit
sebenarnya merupakan ranah aktif yang harus dijalani untuk menggenapi sejarah
koperasi untuk menjadi sebuah gerakan publik. Kalau kita lihat dengan spesifik
seolah koperasi berada di dua dunia yang berbeda, satu kaki menjejak ranah
pemerintah dengan segala peraturan dan birokrasiyang membelitnya, kaki yang
lain terpancang di jajaran persaingan global yang lebih menjurus di sektor
swasta, mengarungi ketatnya pertarungan dengan segala resiko yang harus
dijalani. Peraturan pemerintah tidak memberikan keleluasaan koperasi untuk
lebih berkembang dan membebaskan diri, sedangkan persaingan tidak menjadikan
koperasi sebagai pemenang. Hal ini sangat merugikan karena pada akhirnya
koperasi hanya berdiri sebagai saksi dari alam sejarah yang mungkin suatu saat
hanya menjadi bagian dari sejarah Republik Indonesia.
2. Ayam
Tanpa Induk
Seharusnya koperasi menjadi sebuah
panutan sistem perekonomian, soko guru atau yang kurang lebih seperti itu
artinya, sebenarnya masyarakat bisa menerima koperasi tetapi koperasi sendiri
yang nampaknya belum siap menanggung strata sosial yang di amanahkan rakyat dan
UU. Banyaknya titik-titik koperasi di seluruh Indonesia hanya menjadi kekuatan
semu, layaknya anak ayam yang kehilangan induk, tidak ada satupun yang
berpotensi menjadi ‘raksasa’ dan layak menjadi panutan bagi koperasi lain yang
lebih kecil sehingga potensi yang sedemikian besar menjadi sia-sia dan tanpa
makna. Kalaupun ada yang berniat, hal itu layaknya buah simalakama karena
secara sistem belum ada koperasi yang kredibel untuk menyatukan koperasi lain.
Secara logika dengan kondisi internal demikian sangat kecil kemungkinan
koperasi bisa dikenal dan disegani oleh system lain yang lebih siap secara
mental dan finansial.
3. Radiasi
liberalisasi
Dampak dari tidak adanya kekuatan internal
koperasi yang layak diikuti bagi koperasi lain adalah semakin banyaknya
koperasi yang mencari panutan dari system lain yang secara ideologis liberal
dan individual. Hal itu terjadi karena sebagian penggerak pasif koperasi
mempunyai pandangan system koperasi telah gagal mengembangkan ideologinya
‘layak untuk ditinggalkan’. Dalam jangka waktu yang tidak lama hal itu
berpotensi aktif dengan berubahnya pola pikir koperasi secara sistem,
kebersamaan mulai ditinggalkan, digantikan dengan individualism yang didapat
dari “guru baru liberalisme”, ideologi ritel, swalayan dan aneka mart yang
secara umum lebih memberikan kejelasan sikap dalam ranah teknis. Mereka yang
terbiasa berderet di alur simpin koperasi mungkin akan lebih enjoy dengan
sistem perbankan yang memberikan banyak kemudahan bertransaksi.
Dengan beberapa point umum diatas bisa kita bayangkan kekuatan apalagi
yang bisa menyelamatkan koperasi selain nilai historisnya yang saat ini masih
laku di jual di republik ini. Keberadaannya absurd dan tidak terlampau jelas
untuk sebuah system besar membutuhkan keterlibatan aktif dari segelintir pihak
yang masih mempunyai akses koperasi. Resistensinya harus terlihat jelas dan
nyata dalam memproduksi next dna dan gen aktif yang secara masif memberikan
kontribusi aktif di kancah dunia perkoperasian.
Jika resistensi hanya dimaknai dengan bersembunyi dibalik UU negara,
ataupun berdiam diri di balik kerumunan komunitas koperasi dan meringkuk dengan
baju eksklusifitas koperasi sembari menikmati SHU maka hal itu hanya akan
menambah kesengsaraan koperasi. Karena terlahir ataupun hidup dari genatis koperasi berarti siap terdampar
dalam sebuah iklim minoritas, maka daya resisten harus dikembangkan sebagai
sebuah sistem imun dengan daya adaptasi tinggi yang ke depan dapat dipergunakan
bukan hanya sebagai penerus generasi saja tetapi juga sebagai aksi nyata perubahan. Memperbanyak link, high
skill dan clone gen high quality dengan reproduksi sebanyak-banyaknya generasi
penerus mungkin bisa menjadi alternatif supaya komunitas koperasi semakin besar
dan berdaya dobrak tinggi. Semoga.......
2 komentar:
artikelnya bagus dan menarik, good luck.
suplemen glucogen
artikelnya bagus dan sangat menarik semoga bermanfaat.
suplemen pelangsing badan
Posting Komentar