Sejarah perjalanan umat manusia dimulai dari menulis dan titik
akhir tertinggi peradaban tertinggi manusia adalah tulisan. Dalam perkembangannya Cetak Biru
peradaban manusia merupakan pergeseran dari
opus
manuale (kerja kasar) ke opus spirtuale (kerja halus). Sementara
itu Transformasi
Oral Culture atau budaya lisan
menjadi Creat Culture menjadikan
tatanan masyarakat statis menjadi lebih dinamis.
Tulisan bisa menjadi
sebuah realitas karena ia dapat berisi fakta, melalui tulisan keberlangsungan
generasi tetap terjaga. Tradisi tulis-menulislah yang menjadi penyempurna tumbuh-kembangnya peradaban. Tak heran jika tulis-menulis menjadi nilai ukur dan ciri khas negara
maju.
Sayangnya Indonesia belum masuk sebagai negara society
writing atau masyarakat yang gemar menulis. Boleh jadi karena sejak
dulu bangsa ini lebih lekat dengan tradisi bercerita daripada tulis-menulis.
Kita ingat banyak kisah atau cerita diturunkan antar generasi lewat lisan.
Data Scientific American Survey tahun 1994 menunjukkan
kontribusi Indonesia pada pengetahuan, sains dan teknologi hanya 0,012 persen. Fakta itu seolah membenarkan bahwa karya ilmiah mahasiswa
Indonesia yang diterima di ranah Internasional sangat sedikit.
Dalam sebuah workshop di UGM, Prof. Dr. Mudasir, M.Eng mengatakan
rendahnya minat menulis disebabkan beberapa hal. Selain karena tidak mengetahui bagaimana cara
menulis ilmiah dengan baik, faktor lain salah satunya rendahnya minat baca
masyarakat Indonesia.
Kegiatan membaca dan
menulis saling terkait dan
mempengaruhi.
Membaca merupakan referensi untuk menulis. Seseorang tidak bisa menulis bila tak suka membaca, karena kedua kegiatan itu sejatinya saling beriringan.
Bangsa
Indonesia bisa
dibilang sangat malas membaca buku atau
media cetak. Hanya 1 dari 1.000 orang
yang punya minat baca serius. Setidaknya itulah hasil penelitian
UNESCO.
Berdasarkan riset APJII (Asosiasi Penyelanggara Jasa Internet Indonesia) dan PUSKAKOM UI busana mencatatkan angka 71,6% dari seluruh produk yang dibeli secara online, kemudian disusul oleh kosmetik dengan angka 20%. Sementara jasa travel dan buku, memiliki persentase sebesar 9,7%.
Dengan kata lain, masyarakat Indonesia
lebih suka belanja konsumtif ketimbang membeli buku.
Sebagai pembanding, sebutlah Jepang. Orang-orang Jepang selalu memanfaatkan
waktu untuk membaca.
Mereka membaca dimanapun: di
halte, di bis, di kereta dan tempat lainnya. Tak mengherankan bila kini mereka
melesat meski pernah
porak poranda pasca tragedi Nagasaki-Hiroshima. Bandingkan
dengan masyarakat
Indonesia, kita lebih
suka ngobrol atau nggosip,
bermain gadget dan bahkan tidur. Sungguh ironis, bukan? []
Menulis
Punya Banyak
Keuntungan?
Profesor James W.
Pennebaker, Ph.D., dalam bukunya The
Healing Power of Expressing Emotions, mengatakan seseorang yang terbiasa
menulis lebih bisa mengontrol, mengekspresikan emosi dan pikirannya. Alhasil seorang penulis akan
jauh lebih tenang dalam menghadapi masalah.
Seorang penulis
terbiasa menggali ide-ide kreatif dan karenanya banyak menggunakan otak kanan. Pada titik lain, penulis menggunakan otak kirinya saat:
menyajikan data,
menanalisa,
dan membangun argumentasi.
Sinergi otak kanan dan kiri akan berkembang secara seimbang dan meningkatkan
kecerdasan emosional.
Saat menulis, seseorang
meluapkan keresahannya dalam bentuk tulisan yang menginspirasi. Sebuah penelitian
menyebutkan bahwa menulis
memiliki banyak manfaat positif. Menulis akan meningkatkan kreativitas,
kemampuan berpikir kritis, meningkatkan kepercayaan diri, dan kemampuan membaca.
Jika menulis menjadikan seseorang
mencapai sesuatu hal yang tak pernah terbayangkan, tertarik untuk memulai menulis? []