Read more: http://matsspensix.blogspot.com/2012/03/cara-membuat-judul-pada-blog-bergerak.html#ixzz274NKvLCo

Rabu, 03 Oktober 2012

Mungkinkah ???


Bertemu seorang sahabat, ngobrol ngalor ngidul kesana kemari berganti topik dan pembahasan, sampai akhirnya menemukan konklusi pembahasan dengan melalui perdebatan ala komentator televisi yang cukup sengit. Dimulai dari adiknya yang sakit dan keluhan pelayanan dokter muda yang salah memasukkan kabel infus, kami membandingkan dengan pelayanan di kelas VIP yang sangat berbeda. Di kelas ‘ekonomi’ yang merupakan sebagian besar penghuni rumah sakit dengan fasilitas jamkesmas, jamsostek dan fasilitas dari pemerintah lain seolah dipandang ‘sebelah mata’ oleh yang empunya rumah sakit sehingga dikirimlah tenaga medis yang dalam proses ‘belajar’, full trial and error dan datang secara bergerombol. Kesan yang didapat adalah mereka bukannya mengobati tetapi memasuki laboratorium dengan varian ‘kelinci percobaan’ dengan mimik muka memelas. ‘Sang Dokter Muda’ itu dengan umur masih belia lebih memposisikan dirinya sebagai ‘pelajar’ dengan gaya wah, tangan menggenggam gadget terkini diselingi ketawa renyah merupakan pemandangan yang kontras jauh dari kesan ‘sang penyembuh’.
Percakapan dimulai lagi dari beberapa institusi yang merupakan kawasan elit tempat menimba ilmu calon dokter di nusantara ini. Bukan rahasia lagi untuk memasuki fakultas elit tersebut orang tua harus merogoh kocek yang sangat dalam dengan kisaran ratusan juta malah untuk beberapa perguruan tinggi ‘elit’. Mendadak kami teringat adik kecilku yang dengan polosnya mematok cita-cita ‘pengen menjadi dokter’.... Muncul pertanyaan ditengah kebimbangan.....Bisakah ???...
Jika generasi emas yang dianugerahi kecerdasan dan kegeniusan lahir dari kalangan ‘marginal’, ekonomi pas-pasan tetapi mempunyai niat mulia ingin menjadi ‘penyembuh’ atau lebih terkenal sebagai dokter, apakah kecerdasan dan doa saja cukup di millenium ini. Memang harus diakui minat terhadap profesi ini sangat membludag, hampir tidak ada orang tua yang menolak jika anaknya ingin menjadi dokter yang secara sosial merupakan profesi positif, anti miskin dan sangat dibutuhkan. Masuk akal juga jika terbatasnya jumlah fakultas kedokteran yang memaksa otoritas universitas untuk membatasi jumlah peminat. Yang tidak masuk akal jika kemudia patokan pembatas itu bukan kecerdasan, tetapi dilihat dari sisi banyak pundi-pundi yang dimiliki untuk meretas keinginan menjadi dokter. Bagaimana nasib pasiennya jika sang dokter tidak berangkat dari keahlian dan kecerdasan yang mumpuni, tetapi berangkat dari kesanggupan mmembayar dana pembangunan ratusan juta rupiah ???
Pembicaraan kami mulai agak ngawur lagi, jika dihitung2 kebanyakan orang dengan latar belakang keluarga miskin yang memiliki keinginan belajar tinggi cenderung lebih fokus, niat yang lebih murni, lebih manghargai orang lain dan bla bla kebaikan lain daripada anak dengan latar belakang keluarga berada dengan stigma ‘malas’ terbiasa hidup enak sehingga yang ada mereka malas belajar dan hasilnya juga pas-pasan. Jika dipikir lagi calon dokter sekarang 99% berasal dari keluarga berada, terus bagaimana kualitas dokter yang tercetak ?????
Akhirnya percakapan asal-asalan kami terhenti karena pusing dan tidak tahu harus bagaimana menyelamatkan secercah cita-cita dari keluarga-keluara miskin yang anaknya cerdas dan ingin jadi dokter. Harapan kami ada institusi dari pemilik modal atau lembaga pemerintah terkait yang berhati mulia dan menggratiskan biaya perkuliahan untuk fakultas yang mencetak profesi vital bagi masyarakat khusus untuk individu cerdas kalangan bawah... Mungkinkah ?????

2 komentar:

suplemen glucogen mengatakan...

postingnya sangat bagus dan sangat bermanfaat, sukses ya.
suplemen glucogen

suplemen pelangsing badan mengatakan...

terima kasih atas infonya sangat bermanfaat.
suplemen pelangsing badan

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | JCpenney Printable Coupons