Bertemu seorang sahabat, ngobrol ngalor ngidul kesana kemari berganti
topik dan pembahasan, sampai akhirnya menemukan konklusi pembahasan dengan
melalui perdebatan ala komentator televisi yang cukup sengit. Dimulai dari
adiknya yang sakit dan keluhan pelayanan dokter muda yang salah memasukkan
kabel infus, kami membandingkan dengan pelayanan di kelas VIP yang sangat
berbeda. Di kelas ‘ekonomi’ yang merupakan sebagian besar penghuni rumah sakit
dengan fasilitas jamkesmas, jamsostek dan fasilitas dari pemerintah lain seolah
dipandang ‘sebelah mata’ oleh yang empunya rumah sakit sehingga dikirimlah
tenaga medis yang dalam proses ‘belajar’, full trial and error dan datang
secara bergerombol. Kesan yang didapat adalah mereka bukannya mengobati tetapi
memasuki laboratorium dengan varian ‘kelinci percobaan’ dengan mimik muka
memelas. ‘Sang Dokter Muda’ itu dengan umur masih belia lebih memposisikan
dirinya sebagai ‘pelajar’ dengan gaya wah, tangan menggenggam gadget terkini
diselingi ketawa renyah merupakan pemandangan yang kontras jauh dari kesan ‘sang
penyembuh’.
Percakapan dimulai lagi dari beberapa institusi yang merupakan kawasan
elit tempat menimba ilmu calon dokter di nusantara ini. Bukan rahasia lagi
untuk memasuki fakultas elit tersebut orang tua harus merogoh kocek yang sangat
dalam dengan kisaran ratusan juta malah untuk beberapa perguruan tinggi ‘elit’.
Mendadak kami teringat adik kecilku yang dengan polosnya mematok cita-cita ‘pengen
menjadi dokter’.... Muncul pertanyaan ditengah kebimbangan.....Bisakah ???...
Jika generasi emas yang dianugerahi kecerdasan dan kegeniusan lahir dari
kalangan ‘marginal’, ekonomi pas-pasan tetapi mempunyai niat mulia ingin
menjadi ‘penyembuh’ atau lebih terkenal sebagai dokter, apakah kecerdasan dan
doa saja cukup di millenium ini. Memang harus diakui minat terhadap profesi ini
sangat membludag, hampir tidak ada orang tua yang menolak jika anaknya ingin
menjadi dokter yang secara sosial merupakan profesi positif, anti miskin dan
sangat dibutuhkan. Masuk akal juga jika terbatasnya jumlah fakultas kedokteran
yang memaksa otoritas universitas untuk membatasi jumlah peminat. Yang tidak
masuk akal jika kemudia patokan pembatas itu bukan kecerdasan, tetapi dilihat
dari sisi banyak pundi-pundi yang dimiliki untuk meretas keinginan menjadi
dokter. Bagaimana nasib pasiennya jika sang dokter tidak berangkat dari
keahlian dan kecerdasan yang mumpuni, tetapi berangkat dari kesanggupan
mmembayar dana pembangunan ratusan juta rupiah ???
Pembicaraan kami mulai agak ngawur lagi, jika dihitung2 kebanyakan orang
dengan latar belakang keluarga miskin yang memiliki keinginan belajar tinggi cenderung
lebih fokus, niat yang lebih murni, lebih manghargai orang lain dan bla bla
kebaikan lain daripada anak dengan latar belakang keluarga berada dengan stigma
‘malas’ terbiasa hidup enak sehingga yang ada mereka malas belajar dan hasilnya
juga pas-pasan. Jika dipikir lagi calon dokter sekarang 99% berasal dari
keluarga berada, terus bagaimana kualitas dokter yang tercetak ?????
Akhirnya percakapan asal-asalan kami terhenti karena pusing dan tidak
tahu harus bagaimana menyelamatkan secercah cita-cita dari keluarga-keluara
miskin yang anaknya cerdas dan ingin jadi dokter. Harapan kami ada institusi
dari pemilik modal atau lembaga pemerintah terkait yang berhati mulia dan
menggratiskan biaya perkuliahan untuk fakultas yang mencetak profesi vital bagi
masyarakat khusus untuk individu cerdas kalangan bawah... Mungkinkah ?????
2 komentar:
postingnya sangat bagus dan sangat bermanfaat, sukses ya.
suplemen glucogen
terima kasih atas infonya sangat bermanfaat.
suplemen pelangsing badan
Posting Komentar