Dunia diciptakan tidak dari
struktur yang statis melainkan dalam struktur dinamis yang penuh dengan
kontradiks dan pertentangan-pertentangan. Sejarah manusia dibentuk di atas
berbagai macam penindasan dan perjuangan kelas yang mengurangi daya hidup dan membatasi
kebebasan manusia. Manusia beraktifitas secara fisik dalam masyarakat
berbasiskan kelas yang eksploitatif dimana setiap manusia telah dipaksa untuk
bekerja demi kekayaan manusia lain. Perselisihan antar kelas telah mendominasi
konflik dalam sejarah dan menjadi mesin penggerak perubahan sosial..... (Burchill,
2005 : 164).
Dalam semua aspek kehidupan
konflik, kepentingan dan gesekan menjadi dualisme, ambigu transaksional yang
menggulirkan 2 hal berbeda, kehancuran dan kebangkitan, baik dalam konteks
sistem, era pemerintahan, transformasi organisasi maupun keterlibatan pihak
lainnya. Konteks perubahan tidak akan terjadi dari rahim comfort zone (Zona
Nyaman) tetapi sangat berpotensi terlahir dari Danger Zone, dari situasi yang
sangat krodit bahkan dan sangat memicu adrenalin.
Karena sesungguhnya kematian
mengintai dari riap kecil zona nyaman maka munculnya ketakutan dan hantu
perubahan terkadang membuat kita rela melakukan hal yang sama berulang-ulang
sepanjang hari, melewati jalan atau cara-cara yang sama sepanjang tahun. Sampai
ketika kita terbunuh akal, pertumbuhan pengetahuan dan kemampuan dan kita menyadarinya
saat sudah tertinggal jauh dan terpuruk.
Dalam konteks ini kecurigaan
jebakan comfort zone pantas dijadikan analisa dengan kondisi perkoperasian kita
saat ini disamping situasi politis yang begitu kental dalam perkembangan
koperasi, jika kita melihat sejenak ke belakang dimana kondisi perkoperasian
Indonesia masih berjalan “lancar”. Kecenderungan perlindungan dan perhatian
pemerintah yang begitu besar dengan berbagai kemudahan saat itu membuat
koperasi terbuai dan terlelap dalam mimpi indah kenyamanan.
Peninaboboan dan konsep
intervensi Koperasi dimulai di era Orde Baru yang dimulai titik awalnya 11
Maret 1966 pada tanggal 18 Desember 1967 telah dilahirkan Undang-Undang
Koperasi yang baru yakni dikenal dengan UU No. 12/1967 tentang Pokok-pokok
Perkoperasian Konsideran UU No. 12/1967. Ketentuan-ketentuan yang mengatur
tentang Wilayah Unit Desa, BUUD/KUD dituangkan dalam Instruksi Presiden
No.4/1973 yang selanjutnya diperbaharui menjadi instruksi Presiden No.2/1978
dan kemudian disempurnakan menjadi Instruksi Presiden No.4/1984.
Pemerintah di dalam mendorong
perkoperasian di era Orde Baru telah menerbitkan sejumlah
kebijaksanaan-kebijaksanaan baik yang menyangkut di dalam pengembangan di
bidang kelembagaan, di bidang usaha, di bidang pembiayaan dan jaminan kredit
koperasi serta kebijaksanaan di dalam rangka penelitian dan pengembangan
perkoperasian. Implementasi yang paling popular dalam pembangunan koperasi
adalah dibentuknya model : KUD (Koperasi Unit Desa) di seluruh daerah.
Namun dari pencetusan Lembaga KUD
tersebut lebih banyak menghasilkan kegagalan daripada kesuksesan yang
diharapkan. Tahap otonomi yang direncanakan sangat sulit direalisasikan. Kalaupun
berkembang banyak turut campur tangan pihak swasta. Dampak negatif pembinaan
koperasi pada masa Orde Baru antara lain :
a.
Ketergantungan yang tinggi terhadap bantuan
pemerintah
b.
Pengurus menjadi lebih berorientasi pada
pembinaan/birokrat dalam membuat
keputusannya sehingga kedaulatan anggota sebagai pemilik koperasi
menjadi terabaikan.
c.
Koperasi menjadi alat politik terselubung dari
pemerintah
d.
Munculnya praktek korupsi dan kronilisme.
e.
KUD menjadi tidak efesien karena harus menangani
berbagai jenis usaha.
Berbagai kemudahan menjadikan
bumerang perkembangan dan kreativitas koperasi, dan hasilnya bisa ditebak, hilangnya
ruh pergerakan dan aktivasi koperasi ke arah yang lebih maju. Alih alih
keterbangunan ideologi dan karya, yang terjadi adalah banyaknya kasus
penggelapan, kemandegan kredit yang menghitamkan aura suci soko guru
perekonomian. Besarnya daya dukung pemerintah dengan segala fasilitasnya
menjadikan koperasi manja, lemah dan penakut.
Padahal segala sesuatu selalu
berubah. Ilmu pengetahuan baru selalu bermunculan dan saling menghancurkan.
Teknologi baru berdatangan menuntut ketrampilan baru. Demikian juga peraturan
dan undang-undang. Pemimpin dan generasi baru juga mengubah kebiasaan dan cara
pandang. Ketika satu elemen berubah, semua kebiasaan, struktur, pola, budaya
kerja dan cara pengambilan keputusan ikut berubah. Ilmu, keterampilan dan
kebiasaan kita pun menjadi cepat usang (Rhenald_Kasali).
Pola kemandegan yang terbangun terus
menerus, membutakan semangat kontinuitas generasi dan kenyamanan politis
akhirnya menjalin secara masif sehingga menjadi topeng yang selalu dilihat
masyarakat mengenai koperasi. Tidak adanya regenerasi memaksa kaum tua terus
berjuang sendiri sepanjang hayat dikandung badan, tanpa pendampingan kaum muda
sebagai back up. Kesan tua, usang dan tradisional akhirnya menjadi ruh yang
melumuri sekujur pori pori koperasi.
Dibandingkan dengan negara di
belahan bumi lain, kelahiran koperasi yang berawal dari ketertindasan, kaum buruh
korban kekejaman kapitalisme mencoba bangkit dengan usaha kelompok, berkembang
dengan alamiah tanpa ada campur tangan penguasa, sistem negara dan undang
undang yang mengayominya sehingga tertempa menjadi kekuatan baru yang lepas
dari kontrol dan intervensi. Kelahiran dan konsistensi untuk mandiri ini yang
akhirnya menjelma menjadi kekuatan yang diperhitungkan dan menjadi inspirasi pergerakan. Di indonesia memang kelahiran Koperasi berawal dari ketertindasan kecil, namun di tengah perjalanannya muncul inkonsistensi yang memaksa kaum koperasi terlebur dalam sebuah wacana intervensi birokrasi yang menjebak dan membutakan.
Jika kemudian kita menginginkan
sebuah tatanan ideal sebagai sebuah sistem dan kontinuitas koperasi Indonesia, mungkin
kita harus mendengarkan kata orang bijak, keajaiban jarang terjadi pada mereka
yang tak pernah keluar dari "selimut rasa nyamannya." Keajaiban itu
hanya ada di luar zona nyaman yang kita sebut sebagai zona berbahaya (a danger
zone). Zona berbahaya ini seringkali juga dinamakan sebagai zona kepanikan
(panic zone).
Kita mungkin masih ingat sebuah
gebrakan yang mengundang perdebatan dari mantan presiden RI Gus Dur bahwa
sebaiknya departemen yang menaungi koperasi dibubarkan, mungkin itulah jalan
terbaik saat ini untuk memaksa koperasi berdiri sendiri, memulai dari nol lagi,
merasakan ketertindasan tanpa perlindungan sehingga terlihat tingkat
kesurvivalan pejuang koperasi, melakukan ayakan ideologi dan berdiri menjadi
kekuatan otonomi yang benar benar telanjang dari payung hukum dan intervensi
pemerintah.
Menjadikan Tetapi bagi koperasi untuk
keluar dari zona nyaman, cerdas menghindari kepanikan, menciptakan para
penjelajah kehidupan telah menunjukkan adanya zona antara, yaitu zona belajar
(learning zone atau challenge zone)...
0 komentar:
Posting Komentar