Koperasi sebagai sebuah wujud dari kebersamaan dan
kerjasama memang merupakan suatu yang universal. Prinsip dan jati diri koperasi
juga bersifat universal. Prinsip dan jati diri koperasi juga bersifat
universal. Namun manifestasinya (pengejawantahannya) dapat dan akan (can
and will be) bersifat lokal, baik dalam bentuk kegiatan
usaha, proses pengambilan keputusan serta sistem dan mekanisme kerja yang
berlaku.
Karena kebersamaan itulah koperasi mengutamakan
kesepemahaman komunal, perwujudan interaksi kemanusiaan dengan menganggap semua
mempunyai potensi yang sama besar. Dari perwujudan kebersamaan itu muncul
karakter saling membutuhkan, saling memahami kelebihan dan kekurangan yang
endingnya mengedepankan kerjasama sebagai bagian internalisasi dan kristalisasi
hakikat sebuah koperasi.Menjadikan koperasi sebagai sebuah institusi yang
merangkum segala lapisan, ide dan status sosial yang menjelma menjadi wujud
kesatuan, yang akan menghilangkan status pemilik modal dan pekerja.
Kedua elemen dasar di atas membuka peluang sebesar2nya
bagi sebuah koperasi untuk melakukan tugas mulia yaitu perwujudan kesejahteraan
anggota. Iringan koperasi yang mensyaratkan beberapa unsur yang salah satunya sebagai
sebuah perkumpulan otonomi dari bersatunya orang orang secara sukarela (dengan
unsur kebersamaan dan kerjasama) tentu saja bukan tanpa sebab, mereka
menginginkan pemenuhan kebutuhan, dan atau aspirasi dalam ekonomi, sosial
ataupun budaya. Dalam perkembangannya jalinan kesepakatan tersebut yang akhirnya
menjadi sebuah dasar atas berdirinya elemen lain yaitu sebuah korporasi atau
perusahaan koperasi sebagai sebuah alat untuk memenuhi aspirasi anggota.
Sampai di titik inilah kita melihat sebuah pergolakan yang
mengakibatkan beberapa koperasi terjebak dalam pembiasan ruh koperasi. Pusaran persaingan
dan keinginan saat menggolakan sebuah alat institusi yang bernama perusahaan
koperasi, yang dalam prakteknya bisa perwujudan dari sebuah Toko, Unit Usaha Simpan
Pinjam, Unit Bisnis Jasa dan sebagainya yang memunculkan persaingan sehingga
timbulah ideologi baru yang memasuki sekumpulan orang tersebut, yang lazim
disebut ideologi kapitalistik.
Titik dimana sebuah koperasi harus menghadapi
pergolakan system persaingan baru, mekanisme pasar, yang membuat fokus terbias
dari lokus organisasi bernama “koperasi” menjadi “Toko”, “Distribusi”, ataupun “Laba
Rugi” yang menyebabkan anggota terpuaskan jika unit usaha tersebut menjadi “Mesin
Penghasil Uang” yang secara prinsip sangat menguntungkan (Profit). Yang secara
mengejutkan akan meliarkan ide konsumerisme dan semangat akan materialistis, munculnya
semangat persaingan (competitive economi) yang melibatkan rasionalitas ekonomi sebagai
maksimisasi kepuasan (individu) dan keuntungan (perusahaan koperasi). Dalam
beberapa kasus peraingan tersebut menempatkan Koperasi menjadi enemi dari
anggotanya dikarenakan unit usaha yang terbangun secara serampangan sehingga
unit usaha koperasi justru mengancam pertumbuhan unit usaha anggotanya. Kesalahpahaman
yang berimbas pada “perceraian” unit usaha koperasi dengan “kubu anggota”.
Titik krusial tersebut menyebabkan Anggota seringkali
salah memaknai “kesejahteraan” dalam koperasi sebagai sebatas material, padahal
sebenarnya perwujudannya kesejahteraan akan terwujud menjadi profit (keuntungan
material, SHU) dan benefit (Keuntungan non material yang bisa dirasakan). Saat pusaran
ini semakin menjauh maka identitas sebuah koperasi akan lebur, musnah, tidak
ada lagi diskusi pendidikan, komunikasi, kerjasama, dan kebersamaan. Yang ada
adalah sebuah entitas baru yang menomorsatukan kebermaknaan material,
perdebatan seputar SHU, keuntungan unit usaha, persangan pasar dan pemenuhan
lain yang sangat material. Di sisi inilah ujung kekalahan koperasi yang membuat
koperasi tidak ada bedanya dengan toko di luar sana menyimpang di jalan Kapitalistik, hanya embel embeli kata Koperasi sebagai pembeda nama.
Untuk itulah diperlukan sebuah sistem yang membuat
koperasi bertransformasi sebagai suatu upaya restrukturisasi pemembentukan
sistem ekonomi baru yang meninggalkan asas individualisme dan menggantinya
dengan paham kebersamaan dan asas kekeluargaan sesuai semangat dan moralitas
agama ber-ukhuwah berdasar demokrasi ekonomi. Menjadikan sistem pengkaderan,
pendidikan dan pemahaman beberapa kekeliruan persepsi yang akhirnya merubah
pola pandang anggota menjadi kata wahib yang harus diselaraskan dalam pola
kebijakan internal koperasi.
Adanya penerjemah kebijakan “antara” sebagai mediator
antara Pengurus/Pengawas dengan anggota yang terwujud dalam sebuah sistem
manajerial sebagai internalisasi ideologi dan aktualisasi eksternal dalam tata
kelola unit usaha anggota. Terjemahan ini yang menjadi filter, blocking issue
yang membentengi anggota sehingga tetap amanah dan konsisten dalam hakikat
perkoperasian, menjadikan sebuah ‘label’ koperasi benar benar sebagai
identitasnya.
Dari keberhasilan sebuah entitas koperasi untuk
mempertahankan hakikat koperasi kita bisa mengharapkan lahirnya tanggung jawab
untuk menegakkan prinsip dan jati diri koperasi sekaligus memenuhi beberapa
‘persyaratan” organisatoris yang melekat dengan menggunakan identitas itu.
Identitas atau label koperasi menjadi sarana (atau wahana) untuk menggunakan
sifat universalnya sebagai energi positif bagi mereka yang membutuhkan. Menjadikan
Koperasi sebagai Gerakan ekonomi Kerakyatan....Soko Guru Perekonomian
Indonesia....
0 komentar:
Posting Komentar