Dahulu di masa kekaisaran Roma, ada sebuah
titah Raja yang melarang para prajurit kerajaannya untuk menikah demi
terciptanya stabilitas politik. Kala itu kondisi kerajaan sangat rentan dengan
konflik, dan Raja menganggap bahwasanya para prajurit akan lebih fokus
menghadapi peperangan apabila mereka tidak memiliki ikatan batin dengan suatu
apapun, yang berarti pernikahan dianggap sebagai sebuah hambatan. Raja pun
mengisyaratkan kepada seluruh Pendeta agar tidak menikahkan prajurit-prajurit
kerajaan. Para Pendeta patuh terhadap perintah ini, dan semua prajurit pun
terlihat setia terhadap perintah rajanya. Hingga suatu hari seorang Pendeta
bernama Santo Valentino berani menabrak kebijakan Raja. Dalam format
clandestein (dalam teori politik ini berarti gerakan bawah tanah), secara
diam-diam Santo Valentino berani menikahkan para prajurit kerajaaan yang hendak
menyatukan cinta dengan kekasihnya. Alasan Santo Valentino berani melanggar
kebijakan kerajaan sangat sederhana, bahwasanya setiap manusia sejatinya memang
di karuniai ketertarikan terhadap lawan jenis, dan itu berarti pernikahan
adalah sebuah hal yang secara lahiriah tidak dapat dihindari dalam kehidupan.
Namun pada akhirnya gerakan Santo Valentino diketahui oleh penguasa, dan Ia
dihukum mati. http://pedomannews.com
Catatan pertama dihubungkannya hari raya
Santo Valentinus dengan cinta romantis adalah pada abad ke-14 di Inggris dan
Perancis, di mana dipercayai bahwa 14 Februari adalah hari ketika burung
mencari pasangan untuk kawin. Kepercayaan ini ditulis pada karya sang sastrawan
Inggris pertengahan ternama Geoffrey Chaucer pada abad ke-14. Ia menulis di
cerita Parlement of Foules (Percakapan Burung-Burung) bahwa :
For this was sent on Seynt Valentyne's day
("Untuk inilah dikirim pada hari Santo Valentinus")
When every foul cometh there to choose his
mate ("Saat semua burung datang ke sana untuk memilih pasangannya")
Dalam catatan Wikipedia “Hari raya” ini
sekarang terutama diasosiasikan dengan para pencinta yang saling bertukaran
notisi-notisi dalam bentuk "valentines". Simbol modern Valentine
antara lain termasuk sebuah kartu berbentuk hati dan gambar sebuah Cupido
(Inggris: cupid) bersayap. Mulai abad ke-19, tradisi penulisan notisi
pernyataan cinta mengawali produksi kartu ucapan secara massal. The Greeting
Card Association (Asosiasi Kartu Ucapan AS) memperkirakan bahwa di seluruh
dunia sekitar satu miliar kartu valentine dikirimkan per tahun. Hal ini membuat
hari raya ini merupakan hari raya terbesar kedua setelah Natal.
Sejak kapan valentin didefinisikan dengan
coklat sebagai symbol kasih sayang masih menjadi perdebatan, tetapi hal itu
tidak lepas dari unsur –unsur yang terkait, terlebih lagi dahulu sistem monarki
masih sangat kental sehingga secara otomatis seorang publik figur menjadi
trendsetter dalam setiap perilakunya. Pada saat coklat sedang naik daun dan menjadi
symbol kaum bangsawan sebagai hadiah pemberian yang istimewa, sejak saat itulah
coklat mendapat hati dari masyarakat luas.
Coklat dan hubungan nya dengan Valentine,
tak terlepas dari bahan bahan ramuan cinta yang terkandung di dalam penganan
paling poluler di dunia ini. Di dalam coklat terdapat phenylethylamine (PEA),
yang sering juga disebut sebagai “ love chemical ”. zat ini secara natural
didapati pada otak manusia, memberikan efek sensasi ketertarikan, kegembiraan,
sensasi mabuk kepayang dan euphoria – atau tepatnya seluruh sensasi yang kita
rasakan pada saat kita jatuh cinta. PEA meningkat sampai pada level puncak pada
saat seseorang mengalami orgasme. Apakah suatu kebetulan semata bila didapatkan
suatu fakta bahwa pada penderita schizoprenia didapatkan level PEA yang secara
tidak normal sangat tinggi? Well, I guess that’s why we call it madly in love,
right ?
Di Jepang, Hari Valentine
sudah muncul berkat marketing besar-besaran, sebagai hari di mana para wanita
memberi para pria yang mereka senangi permen cokelat. Namun hal ini tidaklah
dilakukan secara sukarela melainkan menjadi sebuah kewajiban, terutama bagi
mereka yang bekerja di kantor-kantor. Mereka memberi cokelat kepada para teman
kerja pria mereka, kadangkala dengan biaya besar. Cokelat ini disebut sebagai Giri-choko, dari kata giri (kewajiban)
dan choco (cokelat).
Lalu berkat usaha marketing lebih lanjut, sebuah hari balasan, disebut “Hari
Putih”(White Day) muncul. Pada hari ini (14 Maret), pria yang sudah mendapat cokelat pada hari
Valentine diharapkan memberi sesuatu kembali.
Terlepas dari semua hiruk pikuk dan
histeria valentine yang patut diajungi jempol adalah strategi pemasaran yang
mampu dan jeli melihat sebuah potensi bisnis yang tak lekang oleh waktu. Keberhasilan
coklat sebagai simbol yang mewakili sebuah kalibrasi sosial dalam kurun waktu
berabad-abad merupakan sukses yang tidak terbantahkan, bahkan mungkin mustahil
untuk menggeser perannya. Demikian juga setting format sosial yang dapat menciptakan
sebuah “Hari Raya” baru dengan kolaburasi berbagai etika dan konteks sosial
berbeda sehingga semua orang merasa berhak merayakannya tanpa melihat Suku,
Ras, Agama dan kaidah kesukuan yang selama ini menjadi sekat kuat dalam sebuah pengakuan
sosial lengkap dengan segala kepentingan bisnis yang melingkupinya tanpa banyak
yang merasa terusik.
0 komentar:
Posting Komentar