Read more: http://matsspensix.blogspot.com/2012/03/cara-membuat-judul-pada-blog-bergerak.html#ixzz274NKvLCo

Selasa, 12 Februari 2013

Kalibrasi Sosial berjudul Valentine



Dahulu di masa kekaisaran Roma, ada sebuah titah Raja yang melarang para prajurit kerajaannya untuk menikah demi terciptanya stabilitas politik. Kala itu kondisi kerajaan sangat rentan dengan konflik, dan Raja menganggap bahwasanya para prajurit akan lebih fokus menghadapi peperangan apabila mereka tidak memiliki ikatan batin dengan suatu apapun, yang berarti pernikahan dianggap sebagai sebuah hambatan. Raja pun mengisyaratkan kepada seluruh Pendeta agar tidak menikahkan prajurit-prajurit kerajaan. Para Pendeta patuh terhadap perintah ini, dan semua prajurit pun terlihat setia terhadap perintah rajanya. Hingga suatu hari seorang Pendeta bernama Santo Valentino berani menabrak kebijakan Raja. Dalam format clandestein (dalam teori politik ini berarti gerakan bawah tanah), secara diam-diam Santo Valentino berani menikahkan para prajurit kerajaaan yang hendak menyatukan cinta dengan kekasihnya. Alasan Santo Valentino berani melanggar kebijakan kerajaan sangat sederhana, bahwasanya setiap manusia sejatinya memang di karuniai ketertarikan terhadap lawan jenis, dan itu berarti pernikahan adalah sebuah hal yang secara lahiriah tidak dapat dihindari dalam kehidupan. Namun pada akhirnya gerakan Santo Valentino diketahui oleh penguasa, dan Ia dihukum mati. http://pedomannews.com

Catatan pertama dihubungkannya hari raya Santo Valentinus dengan cinta romantis adalah pada abad ke-14 di Inggris dan Perancis, di mana dipercayai bahwa 14 Februari adalah hari ketika burung mencari pasangan untuk kawin. Kepercayaan ini ditulis pada karya sang sastrawan Inggris pertengahan ternama Geoffrey Chaucer pada abad ke-14. Ia menulis di cerita Parlement of Foules (Percakapan Burung-Burung) bahwa :

For this was sent on Seynt Valentyne's day ("Untuk inilah dikirim pada hari Santo Valentinus")
When every foul cometh there to choose his mate ("Saat semua burung datang ke sana untuk memilih pasangannya")

Dalam catatan Wikipedia “Hari raya” ini sekarang terutama diasosiasikan dengan para pencinta yang saling bertukaran notisi-notisi dalam bentuk "valentines". Simbol modern Valentine antara lain termasuk sebuah kartu berbentuk hati dan gambar sebuah Cupido (Inggris: cupid) bersayap. Mulai abad ke-19, tradisi penulisan notisi pernyataan cinta mengawali produksi kartu ucapan secara massal. The Greeting Card Association (Asosiasi Kartu Ucapan AS) memperkirakan bahwa di seluruh dunia sekitar satu miliar kartu valentine dikirimkan per tahun. Hal ini membuat hari raya ini merupakan hari raya terbesar kedua setelah Natal.

Sejak kapan valentin didefinisikan dengan coklat sebagai symbol kasih sayang masih menjadi perdebatan, tetapi hal itu tidak lepas dari unsur –unsur yang terkait, terlebih lagi dahulu sistem monarki masih sangat kental sehingga secara otomatis seorang publik figur menjadi trendsetter dalam setiap perilakunya. Pada saat coklat sedang naik daun dan menjadi symbol kaum bangsawan sebagai hadiah pemberian yang istimewa, sejak saat itulah coklat mendapat hati dari masyarakat luas.

Coklat dan hubungan nya dengan Valentine, tak terlepas dari bahan bahan ramuan cinta yang terkandung di dalam penganan paling poluler di dunia ini. Di dalam coklat terdapat phenylethylamine (PEA), yang sering juga disebut sebagai “ love chemical ”. zat ini secara natural didapati pada otak manusia, memberikan efek sensasi ketertarikan, kegembiraan, sensasi mabuk kepayang dan euphoria – atau tepatnya seluruh sensasi yang kita rasakan pada saat kita jatuh cinta. PEA meningkat sampai pada level puncak pada saat seseorang mengalami orgasme. Apakah suatu kebetulan semata bila didapatkan suatu fakta bahwa pada penderita schizoprenia didapatkan level PEA yang secara tidak normal sangat tinggi? Well, I guess that’s why we call it madly in love, right ?

Di Jepang, Hari Valentine sudah muncul berkat marketing besar-besaran, sebagai hari di mana para wanita memberi para pria yang mereka senangi permen cokelat. Namun hal ini tidaklah dilakukan secara sukarela melainkan menjadi sebuah kewajiban, terutama bagi mereka yang bekerja di kantor-kantor. Mereka memberi cokelat kepada para teman kerja pria mereka, kadangkala dengan biaya besar. Cokelat ini disebut sebagai Giri-choko, dari kata giri (kewajiban) dan choco (cokelat). Lalu berkat usaha marketing lebih lanjut, sebuah hari balasan, disebut “Hari Putih”(White Day) muncul. Pada hari ini (14 Maret), pria yang sudah mendapat cokelat pada hari Valentine diharapkan memberi sesuatu kembali.

Terlepas dari semua hiruk pikuk dan histeria valentine yang patut diajungi jempol adalah strategi pemasaran yang mampu dan jeli melihat sebuah potensi bisnis yang tak lekang oleh waktu. Keberhasilan coklat sebagai simbol yang mewakili sebuah kalibrasi sosial dalam kurun waktu berabad-abad merupakan sukses yang tidak terbantahkan, bahkan mungkin mustahil untuk menggeser perannya. Demikian juga setting format sosial yang dapat menciptakan sebuah “Hari Raya” baru dengan kolaburasi berbagai etika dan konteks sosial berbeda sehingga semua orang merasa berhak merayakannya tanpa melihat Suku, Ras, Agama dan kaidah kesukuan yang selama ini menjadi sekat kuat dalam sebuah pengakuan sosial lengkap dengan segala kepentingan bisnis yang melingkupinya tanpa banyak yang merasa terusik.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | JCpenney Printable Coupons