Hari ini Tuhan sedang menguji kesabaran, setelah sebelumnya tempat parkir
penuh, penitipan barang tidak mampu menampung, ditambah lagi dengan antrian super dahsyat di sebuah mall di
Purwokerto. Mungkin hampir sama dengan berjubelnya pembeli ketika mendekati
lebaran Idul Fitri, padahal kalau dipikir-pikir Natal dan tahun baru masih
sebulan lagi. Deretan kasir yang banyak belum mampu memberikan kenyamanan bagi
para pembeli, berbagai keluhan dan dengus kecewa menghiasi moment ngantri siang
itu melengkapi rasa capek dan getir penat di kaki karena terlalu lama berdiri. Tidak
cukup hitungan menit bahkan siang itu harus mangantri lebih dari setengah jam hanya
sekedar untuk membayar.
Satu tanya terbersit di ujung kepala, apakah sedemikian kurang jumlah
pusat perbelanjaan di Purwokerto ini, atau budaya konsumerisme yang telah
sukses mengakar dalam kalangan masyarakat kita. Di lain sisi disadari atau
tidak ketika kita berbelanja tidak hanya membawa misi kepentingan mencukupi
kebutuhan saja tetapi juga sederet ego ketika berbelanja di tempat yang tenama.
Tidak cukup keperluan sehari-hari, merk toko yang tertera di kantong plastik
juga membawa kebanggaan ketika tercantol di motor saat pulang, sepanjang
perjalanan seakan kita menunjukkan posisi kita dalam level masyarakat. Mungkin itulah
kenapa walaupun ratusan toko kecil maupun besar berjajar di tepi jalan, dari
tengah kota sampai daerah pinggiran seakan belum memuaskan dahaga kita untuk
berbelanja.
Pemilik toko, mall atau ritel pun semakin jeli membidik konsumen, tidak
hanya menyediakan keperluan sehari-hari, beberapa pusat perbelanjaan skala
menengah atas dilengkapi dengan foodcourt, wahana mainan anak-anak, ATM, pusat
handphone dan seabrek pusat kebutuhan seconder di berbagai lokasi strategis di
dalam tokonya. Pas sekali dengan keinginan konsumen sekarang yang gemar
dimanjakan dan menjerat mereka untuk merasa nyaman dan tidak perlu pergi ke
tempat lain untuk menghamburkan kerja keras sebulan penuh.
Sayangnya dengan semakin banyak konsumen yang menjadi pelanggan, di
hari-hari libur management ritel seharusnya lebih jeli melihat hal yang bisa
mengurangi kenyamanan pelanggan seperti antrian yang panjang, keterbatasan
personel untuk pelayanan konsumen, penitipan barang dan kondisi parkir yang
tidak mampu menampung membludagnya pengunjung seakan-akan mencerminkan adanya
celah kelam yang harus segera diantisipasi. Hal itu penting sebelum paradigma
konsumen yang setiap kali menemui hal tersebut akhirnya membentuk opini publik
dan akhirnya menjadikan stigma negatif bagi masyarakat.
Pada dasarnya retil tidak hanya mengandalkan kelengkapan produk, lokasi
dan kemudahan saat berbelanja saja tetapi tetap harus diperhatikan hal
pendukung lain. Dimulai dari ketika konsumen menapakkan kaki halaman,
kenyamanan dan kemudahan memarkir kendaraan, kesan saat memasuki tempat
belanja, ketersediaan barang dan kelengkapannya, proses pencarian barang,
pembyaran sampai meninggalkan kompleks perbelanjaan. Atau dengan kata lain kenyamanan
yang berkaitan dengan barang, area belanja maupun personel yang melayani
konsumen idealnya sama seperti saat melayani seorang raja, seiring dengan kata
pepatah konsumen adalah raja.
Memang susah menjaga image baik, menyediakan segala keperluan plus sdm
yang sesuai dengan yang kita inginkan, apalagi melayani orang banyak dari
segala kalangan, kepentingan dan usia tetapi itulah tantangan yang harus
dihadapi. Apalagi dengan menjamurnya ritel kecil dengan segala kelebihan dan
kemudahan, lokasi yang mendekat ke permukiman, pelaku ritel harus benar-benar
waspada dan jeli memahami keinginan konsumennya jika tidak ingin ditinggalkan pelanggan.
1 komentar:
terima kasih atas infonya sangat bermanfaat.
suplemen pelangsing badan
Posting Komentar