Sekilas menonton film di sebuah televisi swasta yang bertitle (kalau
tidak keliru) the seekers: the dark rising dimana dikisahkan pertarungan klasik
melawan kegelapan. Kemenangan hanya bisa diraih jika terkumpul kekuatan dari 6
symbol yang secara teori merupakan jalan
menaklukan kekuatan mengerikan dari penguasa kegelapan. 5 symbol telah
terkumpul, pencarian symbol ke 6 tidak juga menunjukkan keberhasilan sampai
tahap keputusasaan datang dan nyaris mempetieskan semangat pencarian hingga
akhirnya penguasa kegelapan datang dan mengancurkan segalanya. Sampai titik
kritis dimana kegelapan hampir menuai kemenangan mutlak, saat pertempuran
hampir mencapai titik tertingginya dengan kemenangan kegelapan pemeran utama
yang mewakili sosok pahlawan timbul kesadaran, menyadari bahwa symbol ke 6
adalah dirinya sendiri. Hasil akhirnya bisa ditebak, dengan kesadaran akan
kekuatan yang timbul pada dirinya sendiri mengorganisir ke 5 symbol yang ada disempurnakan
dengan symbol ke 6 melahirkan kekuatan dahsyat yang akhirnya mampu mengalahkan
musuh terkuatnya.
Hanya sekedar film dengan title BO (Bimbingan Orang tua) yang berarti
anak kecil boleh menonton dengan pengarahan orang tuanya. Ada yang patut
dicermati dari film tersebut selain action dan setting yang menarik serta alur yang
ditata apik, nampaknya si pembuat cerita berusaha menyadarkan kepada penonton
beberapa hal yang mungkin sudah mulai terlupakan. Pemeran utama dari pihak
kebaikan disimbolkan dengan anak kecil berusia sekitar 14 tahun tetapi mampu
menjadi tumpuan kelompok yang notabene berusia dewasa. Menyadarkan kita bahwa
usia tidak menjadi jaminan akan sebuah kebenaran, bahwa kebenaran bisa datang
dari siapa saja dan kita yang lebih dewasa atau lebih tua tidak boleh memandang
sebelah mata kepada orang yang usianya di bawah kita. Kritik yang cerdas
berusaha dipaparkan kepada kita yang menganggap orang yang lebih tua harus
dijadikan panutan atau contoh dari yang lebih muda. Keengganan kita yang lebih
didasarkan ego terkadang sangat rentan ketika berhadapan dengan kematangan
berpikir orang lain, apalagi yang jauh lebih belia dan kita sematkan istilah ‘masih
bau kencur’.
Ada sisi cerita yang menggambarkan pemeran utama tertipu karena musuh
menyamarkan suaranya menjadi sangat mirip dengan ibunya, sehingga sang lakon
tertipu dan hampir berakibat fatal. Menjadi bahan pertimbangan kita ketika
menghadapi suatu persoalah, apa yang kita dengar, kita lihat dan segala
pertimbangan pribadi kita terkadang hanya sebatas setting indera yang sangat
subyektif. Cara kita memandang harus mengalami evolusi sehingga harus bisa
melihat dengan segala kompleksitasnya, 3 dimensi sehingga memastikan kita bisa
melihat dari segala sudut untuk menampilkan konklusi yang seobyektif mungkin
demi kelanjutan derap langkah yang lebih perform dan dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya. Lebih bijak untuk melupakan dulu segi
emosional yang bisa menutupi sebagian pandangan kita akan kebenaran yang utuh
dan berpengaruh negatif terhadap cara pandang kita.
Puncaknya adalah ketika timbul kesadaran bahwa symbol penentu kemenangan
yang dicari adalah dirinya sendiri, sebagai pelengkap sekaligus unsur inti dari
kekuatan yang terpendam. Di masa ini ketergantungan kita terhadap teknologi
semakin signifikan, tubuh kita sangat dimanjakan dengan berbagai kemudahan yang
mengakibatkan lahirnya kemalasan dan bergesernya pola pikir mengenai pengertian
teknologi, alat dan berbagai peralatan pendukung kehidupan ini. Peran teknologi
sebagai pembantu manusia sedikit demi sedikit beringsut ke atas dan menjelma
menjadi peran vital, lebih penting dari keberadaan manusia itu sendiri. Manusia
bukanlah tuan tetapi menjadi budak teknologi dan pada akhirnya mengikis
kepercayaan diri kita sebagai makhluk penguasa menjadi sekedar pengguna dan pelaksana.
Ketergantungan inil sampai titik tertentu menganggap teknologi, perlengkapan
dan segala bentuk media yang kita gunakan jauh lebih penting dari keberadaan manusia,
mengakibatkan sisi humanisme semakin tergerus karena kita terjebak dalam sisi
gelap peradaban yang semakin canggih. Tahap penilaian terhadap manusia yang
semakin rendah berefek menutup jalan sempit kemanusiaan, semakin jauhnya
hubungan antar sesama manusia karena kita lebih membutuhkan teknologi daripada
sekedar berkomunikasi dengan sesama manusia. Film ini mencoba mengembalikan
fakta bahwa pusat segala kekuatan bukanlah benda, tetapi kesadaran dan kedirian
kita sebagai pemersatu dan inkubator dari berbagai elemen sekunder untuk
mennghancurkan masa-masa kegelapan.
Tafsir sederhana dari film tersebut adalah adanya upaya representasi
ulang sebuah kesadaran, reposisioning manusia sebagai subyek vital, decision
maker, respon kita terhadap manusia lain dan kembalinya status kita sebagai makhluk
sosial yang membutuhkan sesamanya demi kemajuan bersama. Manusialah yang
menentukan sesuatu berfungsi atau tidak, kecerdasan manusialah yang menciptakan
segala kemajuan dan teknologi, dan kitalah representasi aktif dari segala
kemajuan dan peradaban zaman. Sebuah pertimbangan ulang bahwa semua visi, misi
kita berawal dari manusia, ketika kita berada di posisi vital dalam sebuah
kesatuan, unit kerja, ataupun organ vital dari sebuah kluster pendidikan, aspek
manusialah yang harus pertama kali dibangun dan dikembangkan, menempatkan
derajat SDM kita untuk bisa menjadi unit kreatif yang siap berkolaburasi dengan
unit pendukung lain, menjadi pemeran utama dalam sebuah kesatuan aspek demi
kelanjutan integral untuk sebuah kemajuan ....remember, human the first.
2 komentar:
postingnya sangat bagus dan sangat bermanfaat, sukses ya.
suplemen glucogen
terima kasih atas infonya sangat bermanfaat.
suplemen pelangsing badan
Posting Komentar